snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Fantasi Kurikulum Sensual

Fantasi Kurikulum Sensual

25.11.2017

Mari kita jujur: Sistem pendidikan kita kacau. Saya melabelinya, kurikulum yang tak sensual.

Di tingkat akhir perkuliahan, saya mengemas skripsi bernada ‘Sistem Informasi Berbasis WEB’, yang mana saya tujukan untuk bekas sekolah saya dulu. Selain sebagai ungkapan terima kasih kepada tempat yang sudah memfasilitasi saya dalam melewati era pergejolakan hormonal, hal ini juga bertujuan agar saya bisa bercumbu kembali dengan masa-masa SMA. Sayangnya, keterbatasan dana dan teknologi kala itu membuat pihak sekolah urung untuk mengadopsinya secara komersil.

Selang beberapa tahun kemudian, berbekal kekakraban dengan kepala sekolah, saya dihubungi via telepon. Bukan untuk menerapkan sistem yang pernah saya buat dulu, melainkan diminta untuk menjadi tenaga pengajar. Tenaga honorer, jelas. Metode seperti ini memang sudah familiar mengingat mampu meminimalkan penggunaan anggaran. Pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin. Prinsip ekonomi, sesederhana itu.

Dan, saya menolak.

Begitu pula di ranah kampus. Saya memiliki kedekatan dengan seorang kepala jurusan yang amat kapitalis. Nah, hasrat materialistisnya itu sering beliau lampiaskan dengan intervensi pasar melalui rekrutan mahasiswa berkemampuan akademik di atas rata-rata (ehm, seperti saya) untuk membenahi proyek-proyek ambisiusnya. Dikarenakan saya ini memang gemar pamer kompetensi, maka saya menjawab “tantangan” yang beliau berikan. Dan terlepas dari status sosial saya sebagai pesuruh dibalik layar laptop, namun kami senantiasa menjalin afiliasi, paling tidak hingga saat ini. Lewat jalinan itu pulalah beliau memberi saya jalan untuk menjadi dosen di kampus. Dengan berbagai pra syarat tambahan tentunya.

Dan, saya menolak.

Saya menolak tawaran untuk menjadi guru atau dosen dengan mudah. Semudah saat saya menolak invitasi seorang wanita untuk merekam aksi boomerang dengan narasi lirikan mata belaka. Ya, kedua tawaran itu tak mampu membuat saya terpaut.

PENDIDIKAN INDONESIA YANG TAK MENARIK

Benar, tidak menarik! Maksud saya, hampir semua sejarah penting yang saya pelajari di SD, bahkan SMP, dengan mudahnya bisa saya temui di Wikipedia, dan sekarang saya bahkan bisa menginterpretasikannya dalam beberapa minggu saja. Begitu juga dengan pengetahuan ilmiah dasar yang saat ini bisa saya pelajari lewat video-video interaktif di YouTube, tidak menjemukan seperti di bangku SMA. Bahkan jauh sebelum YouTube berevolusi seperti saat ini, sekuel serial Cosmos: A Space Time Odyssey sudah menyambut saya dengan terbuka, begitu jauh dari kebosanan menatap jam berdetak perlahan di kelas-kelas sains.

Sebagai catatan, dunia yang kita tinggali kini ada dalam periode pasar kerja yang paling tidak stabil hampir 100 tahun belakangan ini, di mana teknologi berkembang pesat sehingga robot akan melakukan setengah pekerjaan dalam dekade selanjutnya, mungkin. Dalam artian lain, gelar sarjana yang bagi kebanyakan orang begitu diagung-agungkan akan mulai tidak berharga (di dekade yang lain). Tidak percaya? Lihat saja bagaimana dalam setiap enam bulan industri dan teknologi baru diciptakan secara praktis.

Herannya, kita masih mendorong anak-anak di sekolah melalui kurikulum yang sama persis dengan apa yang dimiliki oleh kakek dan nenek mereka. Bagian klisenya adalah, bahwa segala hal-hal penting dan luar biasa yang saya pelajari dalam hidup ini tidak saya dapatkan lewat bangku sekolah. Dan jelas saya paham mengenai apa hal yang paling penting dalam hidup saya, yaitu bagaimana saya bisa belajar untuk menjadi orang yang dewasa. Lalu pertanyaannya, mengapa hal seperti ini tidak bisa diajarkan di sekolah?

Pikiran saya, jika di masa sekolah dulu saya harus menghabiskan waktu 1 semester untuk mempelajari bagaimana teori atom Dalton (yang mana belakangan saya sadari teorinya sangat lemah), lantas mengapa saya tidak menghabiskan saja waktu 1 semester itu untuk belajar tentang bagaimana menabung untuk masa pensiun dan menghadapi kehidupan seksual di usia tua nanti? Atau paling tidak, mengapa tidak ada satupun guru yang pernah mengatakan pada saya bahwa saat saya menjadi dewasa nanti, maka pasar kerja sebagian besar akan diisi oleh tenaga robot, atau paling tidak tenaga kerja tersebut dikirim ke luar negeri?

Panggil saya idiot, atau apapun istilah milenial yang Anda miliki. Tapi serius, di manakah mata pelajaran seperti di atas? Anda tahu, guru-guru dengan pemikiran visioner yang betul-betul ingin saya dengar.

Jelas, ketika saya ingin menjadi guru, dosen, menteri pendidikan, atau Presiden (yang tentu saja bukan hal yang mustahil), maka Anda tidak akan menjumpai masalah seperti ini lagi. Saya akan menyusun kurikulum pengetahuan hidup yang sempurna untuk diberikan kepada masyarakat. Dan tentu saja, Anda semua akan berterima kasih kepada saya dan memberikan persembahan susu dan madu, atau mungkin seorang perawan.

Namun sebelum saya terseret lebih jauh dengan fantasi ini, mari kita menjadi lebih realistis. Mata pelajaran apakah yang semestinya kita miliki di SMA?

#1 KEUANGAN PRIBADI

– Kurikulum Menyertakan: Pelajaran mengenai kredit dan tingkat suku bunga serta rekening pensiun sehingga kita paham mengapa kita harus mulai menabung paling tidak 1 juta perbulan saat berusia 18 tahun sehingga saat kita berusia 50 tahun, maka kita akan menjadi seorang “gajillionaire”.

Serius, bunga majemuk dari bank telah menjalankan dan mengatur kehidupan kita. Dan bagaimana bisa saya baru mengetahui hal tersebut setelah saya memasuki usia 25 tahun?

– Mengapa Penting: Karena 28% masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan akibat utang yang digunakan untuk konsumerisme (riset Share of Wallet – Kadence International). Angka ini sendiri didominasi oleh para Pegawai Negeri Sipil (logika keuangan yang juga diadopsi oleh orang tua saya). Selain itu, baru 21% pekerja tua formal di Indonesia yang memiliki perencanaan dana pensiun (data OJK). Di sisi lain, lebih dari 50% orang di Indonesia tidak memiliki cadangan untuk masa pensiunnya yang membuat masyarakat ini terancam miskin di hari tua mereka (survey Manulife Investor Sentiment Index). Bahkan untuk mereka yang memiliki gaji pensiun sekalipun, tetap harus melanjutkan cicilan kredit di bank agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan kebutuhan anak-anaknya yang semakin milenial.

Jika mengelola keuangan (dalam hal ini membedakan antara kebutuhan dan keinginan) itu diandaikan sebuah sekolah, maka sebagaian besar penduduk di Indonesia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki tanpa mengenakan sepatu. Dan jelas, mereka terlambat setiap hari.

Kebutaan akan masalah finansial merupakan masalah yang sangat besar. Lihatlah situasi saat ini, di mana kita memiliki sekumpulan masyarakat yang membeli seikat omong kosong berlogo buah apel tergigit yang sebenarnya tidak mampu mereka bayar, menarik orang tuanya untuk berkoalisi dengan kredit, pensiun tanpa tabungan, sakit, dan akhirnya tidak mampu membayar biaya kesehatan.

Anda tahu persis apa yang sedang terjadi saat ini.

#2 RELATIONSHIPS

– Kurikulum Meyertakan: Pelajaran mengenai bagaimana cara untuk mengomunikasikan perasaan Anda tanpa harus menyalahkan atau menghakimi satu sama lain; bagaimana melihat perilaku manipulatif dan mengatasinya; batas-batasan pribadi dan tidak memaksakannya pada orang lain; diskusi jujur tentang seksualitas dan bagaimana kaitannya (atau tidak berkaitan) dengan cinta; kesepakatan ‘Ya atau Tidak’, dan pelajaran mengenai bagaimana pengalaman dari pria dan wanita itu sangat jauh berbeda.

Mungkin Anda semakin yakin bahwa saya memang seorang idiot karena memasukkan kurikulum seperti ini. Hei, tanyakan pada diri Anda sendiri, bahwa pada dasarnya, segala sesuatu yang kita pelajari mengenai hubungan itu kebanyakan diperoleh setelah melalui perpisahan yang menyiksa. Bukan begitu?

– Mengapa Penting: Karena ketika Anda sudah berada di tempat tidur dengan sakit hati akibat hubungan percintaan yang gagal, Anda tidak akan pernah memikirkan bagaimana Abul Wafa mengembangkan metode untuk menghitung tabel trigonometri atau bagaimana konferensi Asia-Afrika di Bandung benar-benar mengubah wajah geopolitik Indonesia, atau bagaimana senyawa organik berkonspirasi untuk membuat otak Anda membusuk. Apa yang terus ada dipikiran Anda hanyalah sosok tercinta dalam hidup yang telah hilang.

Tentu ada banyak hal yang bisa membuat kehidupan kita lebih bahagia, namun banyak diantaranya memiliki pengaruh dan dampak sebagai hasil dari hubungan kita terhadap lawan jenis, atau sesama jenis. Jadi, setiap siswa di sekolah harus belajar agar tidak tersandung layaknya seorang pemabuk yang mencari toilet dan belajar bagaimana melakukan sedikit kontrol terhadap cara mengekspresikan emosi dan keintimannya. Dan di usia saya sekarang, ini adalah keterampilan yang paling mengubah hidup yang pernah saya dapatkan, dan tentu saja tidak saya peroleh di bangku sekolah.

Kurikulum mengenai hubungan ini tidak hanya berbicara mengenai bagaimana cara kita untuk mendapatkan istri yang berparas cantik dan berpayudara besar. Kita berbicara mengenai hubungan dengan huruf “H” kapital: Bagaimana menjadi teman yang baik, bagaimana tidak memperlakukan keluarga Anda seperti binatang, bagaimana menghadapi konflik di tempat kerja, bagaimana bertanggung jawab atas emosi dan masalah Anda sendiri tanpa harus menyeret seluruh follower Anda di media sosial.

Sebagai manusia, kita secara fundamental merupakan hewan sosial. Kita tidak hidup di dalam ruang hampa. Kita tidak akan bisa. Oleh karena itu, ikatan sosial kita membentuk jalinan kehidupan kita.

#3 LOGIKA DAN ALASAN

– Kurikulum Menyertakan: Kurikulum ini akan mengasah logika dengan menyertakan beberapa bentuk pertanyaan, seperti:

Benar atau salah:

Jika semua A adalah B dan semua C adalah D, maka semua D adalah B.

Jawabannya, tentu saja, adalah “salah.”

Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan seperti ini terasa mengacau, terutama saat melalui beberapa tes standar. Namun kemampuan kita untuk memikirkan pertanyaan tersebut sebenarnya memiliki dampak yang begitu besar pada keyakinan kita dan bagaimana kita menjalani hidup ini. Tidak percaya? Sekarang, mari kita mengikuti perkembangan logis yang sama seperti di atas, namun dengan contoh yang lebih realistis:

Awkarin menciptakan konflik di Instagram. Awkarin adalah seorang wanita. Oleh karena itu, wanita menciptakan konflik di Instagram.

Atau:

Kebanyakan koruptor itu miskin. Kebanyakan orang miskin mendapat kesejahteraan. Karena itulah sebagian besar kesejahteraan menuju koruptor.

Hal-hal di atas tentu saja salah, namun ketika Anda melihat hal tersebut di media sebagai fakta, kemudian oleh para pemimpin diperdebatkan di TV lokal yang minus integritas seolah-olah itu argumen yang benar, maka akan menjadi dasar bias dan prasangka dari banyak orang, termasuk saya dan Anda.

Misalnya saja ketika saya melihat berita di laman detik.com (sudah terhapus) yang mengartikulasikan bahwa jumlah perawan di Indonesia hampir punah, sementara jumlah perjaka masih dalam koridor yang baik-baik saja. Mengapa bisa? Padahal saat ada seorang wanita yang kehilangan keperawanan, tentu ada pula pria yang kehilangan keperjakaan. Nilai probabilitas. Ya, memang masih ada kans bahwa 1 pria yang sudah kehilangan keperjakaan itu mampu memerawani 3-4 wanita, namun ada berapa banyak pria seperti itu? Lantas bagaimana dengan oportunitas 1 perawan yang mampu mengambil keperjakaan 3-4 pria? Hukumnya, jika perawan itu sudah hampir punah, maka begitu pula dengan perjaka. Inilah contoh artikel terbodoh yang saya temui di sepanjang tahun 2017, dan inilah mengapa kurikulum “logika” sangat penting diajarkan di sekolah.

Tunggu, tapi bukankah pelajaran logika itu sudah dipelihara lewat Matematika? Di mana matematika membantu siswa untuk mengembangkan sendiri logikanya? Jelas berbeda. Matematika hanyalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Matematika membawa kita untuk berfikir deduktif sehingga proses pengambilan kesimpulan hanya didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Matematika tidak pernah mengajarkan kita untuk berpikir induktif yang mana memungkinkan kita untuk mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus agar bisa menentukan hukum yang umum.

– Mengapa Penting: Lewat pelajaran seperti ini, kita bisa saja membuat kesalahan logis di setiap saat, dan kebanyakan dengan cara halus yang tidak kita sadari. Lebih penting lagi mengingat kesalahan-kesalahan logis tersebut umumnya menyangkut keputusan dan keyakinan penting yang menyangkut konsekuensi hidup kita di masa yang akan datang. Dan saat ini, saya merasakannya dalam berbagai elemen kehidupan, seperti kampanye politik (X pandai menghasilkan uang; pemerintah perlu menghasilkan uang; oleh karena itu X akan baik di mata pemerintahan), masalah hak-hak sipil, keputusan moral dan etika (pacar saya berbohong kepada saya, oleh karena itu saya juga harus bisa berbohong kepadanya), berurusan dengan konflik pribadi, dan sebagainya.

Kesalahan logis ini kemudian menyusup ke dalam hidup kita dan membuat kita mengambil berbagai keputusan bodoh. Keputusan bodoh tentang kesehatan kita, hubungan kita, karir kita, hampir semuanya.

Masalahnya adalah, di sekolah kita jarang diajarkan bagaimana sebenarnya cara berpikir atau memecahkan sebuah masalah. Sebagai gantinya, kita diajarkan cara menyalin rumus, tabel, dan menghafal materi-materi empiris yang kemudian hanya untuk dilupakan. Hal ini tidak sesuai dengan masalah yang akan kita hadapi ketika dewasa nanti, yaitu memilah-milah kerumitan kehidupan. Lebih penting lagi karena di abad ke-21 ini, daya saing hidup begitu tinggi. Seorang teman pernah berkata bahwa sebenarnya biaya hidup saat ini tidaklah jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Apa yang meningkat adalah biaya pamer, biaya ke-kini-an.

Kondisi seperti di atas memicu saya untuk berspekulasi bahwa konflik agama dan budaya yang mencuat dalam dua tahun belakangan ini lebih disebabkan karena kurangnya persiapan kita untuk dunia post-modern yang rumit ini. Mungkin.

#4 SELF-AWARENESS

– Kurikulum Menyertakan: Saya tahu apa yang ada dalam pikiran Anda saat ini. “Bagaimana mungkin seorang idiot seperti dia mengajarkan kesadaran diri?” Tapi percayalah pada orang idiot, bahwa, self-awarness bisa diajarkan dan dipraktikkan seperti hal lainnya, dan saya sudah membuktikannya. Dan pastinya, bukan dari lingkungan sekolah.

Self-awarness merupakan kemampuan untuk memikirkan bagaimana pendapat Anda sendiri. Ini adalah kemampuan untuk memiliki perasaan tentang perasaan Anda sendiri. Memiliki pendapat tentang pendapat Anda!

Misalnya, saya mungkin berpikir seperti, “Saya membenci orang ‘Yahudi’. Segala sesuatu yang berbau ‘Yahudi’ adalah sampah!”

Ini merupakan contoh klasik dari kefanatikan, penyumbatan kebencian sederhana lewat stereotip superfisial. Dan jika Anda kurang memiliki kesadaran diri sendiri, Anda akan menganggap prasangka ini sebagai nilai nominal.

Tapi jika seseorang sadar diri, mereka akan menangkap pemikiran ini dan mempertanyakannya. “Mengapa saya membenci segala sesuatu yang berbau Yahudi? Apakah mungkin karena saya sudah terpapar kebencian pada Yahudi dari media sosial? Apakah karena Ibuku juga tidak menyukai Yahudi? Apakah mungkin saya telah menyalurkan amarah terhadap Yahudi dalam hidup saya ke seluruh orang Yahudi? Ah, saya merasa sangat malu melihat betapa bencinya saya terhadap Yahudi. Mungkin saya harus mengunjungi psikiater.”

Dan, inilah saya memikirkan pikiran saya sendiri. Ini adalah saya yang memiliki perasaan tentang perasaan saya sendiri. Ini saya dengan opini berdasarkan opini saya. Inilah yang disebut dengan kesadaran diri. Sayangnya, hanya sedikit orang yang menjalani hidupnya dengan kesadaran diri tersebut. Setidaknya, itulah yang saya alami dengan lingkungan sosial saat ini.

Namun kabar bagusnya, kesadaran diri ini bisa dipelajari layaknya hal lain, namun tentu saja harus melalui serangkaian latihan. Pada dasarnya, segala sesuatu yang mengharuskan Anda untuk memikirkan apa yang Anda pikirkan atau memiliki perasaan tentang perasaan Anda merupakan proses Anda dalam mengembangkan kemampuan untuk sadar diri. Hal ini sendiri bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, entah itu meditasi, terapi bicara, membaca, atau hanya chat dengan seseorang yang sangat dekat dengan Anda untuk sekedar menunjukkan penilaian dan prasangka Anda terhadap beberapa konsistensi.

– Mengapa Penting: Dalam beberapa penelitian (salah satu favorit saya: Self-Awareness and the Emotional Consequences of Self-Discrepancies), tingkat kesadaran diri yang tinggi mampu menghasilkan berbagai manfaat, kesehatan, dan segalanya. Misalnya saja orang yang mengembangkan keterampilan meta-cognition adalah perencana yang lebih baik, lebih disiplin, lebih fokus, lebih terbiasa dengan emosi, pengambil keputusan yang lebih baik, dan lebih mampu meramalkan masalah potensial di masa depan.

Saat memasuki dunia karir, saya benar-benar merasakan bahwa kesadaran diri merupakan sifat yang paling penting dalam menciptakan hubungan kerja yang kondusif.

Sebagai pengingat, dari segala hal yang kita lakukan dalam hidup, hanya ada satu alat yang bertahan bersama kita dari awal hingga akhir: Pikiran kita. Ini adalah filter yang luar biasa hebat. Semua yang kita lakukan dan segala sesuatu yang terjadi pada kita disaring melalui pikiran dan pemikiran kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu menginvestasikan waktu dan energi untuk memahami pikiran kita sebaik mungkin, karena itu akan memengaruhi segalanya. Mungkin Anda cepat marah dan menghakimi. Mungkin Anda hanya seorang yang biasa-biasa saja sehingga menderita narsisisme kronis dan tidak bisa menahan diri untuk selalu mencari perhatian di Internet. Mungkin Anda impulsif dan ahli omong kosong dalam berbagai hal.

Apapun itu, kita semua harus mengetahui kecenderungan diri kita sendiri kemudian belajar bagaimana memantaunya dan kemudian beradaptasi dengannya.

#5 SKEPTISISME

– Kurikulum Menyertakan: Mengapa semua yang kita yakini paling benar ternyata salah saat ada pada tingkat tertentu; mengapa ingatan kita benar-benar tidak dapat diandalkan; bagaimana bidang yang tampaknya kokoh seperti matematika dan fisika penuh dengan ketidakpastian yang tidak dapat dipecahkan; bagaimana kita semua adalah hakim yang mengerikan dari hal-hal yang membuat kita bahagia/tidak bahagia di masa lalu dan apa yang akan membuat kita bahagia/tidak bahagia di masa depan; peristiwa penting dalam sejarah selalu menjadi hal yang paling tidak dapat diprediksi; bagaimana kepastian dan kekakuan akan agama mengarah pada kejahatan dan kekerasan, bukan sebaliknya; bahwa sebagian besar dari apa yang terjadi untuk pengetahuan ilmiah saat ini didasarkan pada penelitian yang berulang kali gagal direplikasi atau diverifikasi; dan seterusnya.

– Mengapa Penting: Cukup banyak hal baik dalam hidup berasal dari ketidakpastian atau keadaan tidak tahu. Ketidakpastian adalah apa yang membuat manusia penasaran, belajar, menguji gagasan baru, mengomunikasikan niatnya kepada orang lain. Itulah yang membuat kita rendah hati. Hal ini akan membantu kita untuk bisa menerima apapun yang datang nantinya. Ini memungkinkan bagi saya dan Anda untuk melihat orang lain tanpa penilaian dan bias yang tidak adil.

Saya pribadi cenderung menyukai skeptisisme dibanding optimisme ala orang tua kita yang umumnya dibalut bulu kebohongan. Pasalnya, disadari atau tidak, begitu banyak hal buruk dalam kehidupan yang berasal dari kepastian: rasa puas diri, arogansi, kefanatikan dan prasangka yang tidak adil. Orang tidak berkumpul dan membentuk kultus agama dan kemudian meledakkan dirinya dengan bom bunuh diri di pusat perbelanjaan karena mereka tidak yakin akan sesuatu. Mereka melakukannya karena mereka yakin. Pemerintah tidak kelaparan dan membunuh jutaan warganya sendiri karena ketidakpastian. Mereka melakukannya karena kepastian. Atau, orang tidak jatuh ke dalam depresi berat, karena secara obsesif melakukan stalking pada mantan pacar mereka. Mereka melakukannya karena mereka yakin.

Mereka yakin dengan keyakinan bahwa, seperti hampir semua kepercayaan lainnya, masih ada kemungkinan salah.

Skeptisisme memupuk kemampuan untuk membuka diri terhadap alternatif, menahan penilaian, mempertanyakan dan menantang diri sendiri serta menjadikan diri kita orang yang lebih baik. Itulah mengapa saya berfantasi untuk memasukkan skeptisisme ke dalam kurikulum sekolah.

Anda sebenarnya tidak tahu apakah Budi di tempat kerja membenci Anda atau tidak. Anda sebenarnya tidak tahu apakah atasan Anda adalah seorang yang brengsek atau hanyalah buruk dalam berkomunikasi dengan bawahannya. Mungkin istrinya menderita kanker atau semacamnya dan dia terus menangis sepanjang malam. Mungkin Anda si brengsek itu dan Anda tidak mengetahuinya.

Anda tidak benar-benar tahu apakah pernikahan gay akan merusak jalinan masyarakat atau apakah pria dan wanita benar-benar sangat berbeda atau sama. Anda tidak tahu apakah InstaStory makan es krim di restoran cepat saji itu akan membuat Anda bahagia. Anda tidak tahu jika menikah akan memperbaiki masalah hubungan Anda (saya bertaruh pada kata “tidak”), atau apakah anak-anak Anda benar-benar layak menerima semua penghargaan “like” yang diperolehnya di Facebook atau tidak.

Hidup-ini-hidup-dalam-ketidakpastian. Kepastian kita hanyalah strategi yang kita gunakan untuk menghindari kehidupan-yang-hidup-dalam-ketidakpastian tersebut sehingga paparan adaptasi bisa diminimalkan dan mengalir melewatinya. Karena pendidikan dan pembelajaran tidak boleh berakhir saat buku teks terakhir ditutup atau saat ijazah dibagikan. Seharusnya hanya berakhir saat kita mengakhirinya.

***

Fantasi akan diterapkannya kurikulum seperti ini membuat saya merasakan sesuatu, sensasi melayang di udara, sebuah kesadaran yang hanya bisa saya bandingkan dengan jatuh cinta. Dan sebagaimana yang biasa dialami oleh orang jatuh cinta, mereka begitu antusias untuk menceritakannya kepada dunia.

Inilah saya, sang idiot yang sedang jatuh cinta bercerita mengenai absurditas cinta. Bercerita mengenai jatuh cintanya ia terhadap perasaan tidak cintanya dengan pendidikan saat ini, bercerita mengenai penolakannya untuk menjadi pendidik formal. Sederhana, kurikulum kita tidaklah sensual. Di mata sang idiot, setidaknya.

…Mama, selamat hari guru.

Kategori: Life Tag: Pendidikan, Sekolah

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·