Tulisan ini dibuka dengan sebuah pengakuan: “Sudah cukup lama saya tidak mengimplementasikan istilah hari minggu ceria, secara harfiah tentu saja”.
Seingat saya, hari minggu ceria saya lakoni ketika masih kecil dulu, saat seluruh hidup masih diinvestasikan untuk serial Mighty Morphin Power Rangers. Namun tanpa skenario, di awal tahun ini saya bercumbu kembali dengan hari minggu ceria itu. Bedanya, referensi yang digunakan kali ini menggunakan milik seorang pria lajang: Terbangun di siang hari tanpa ada paksaan; pesan singkat akan neraca keuangan yang bernada surplus; list IDM yang berhasil menyelesaikan semua tugasnya; serta sisa-sisa euforia akan kedigdayaan Manchester United semalam.
Tak dinyana, minggu ceria itu hanyalah sebatas masturbasi ego semata, dirusak oleh deringan telpon teman lama:
“Woi, masih di BTP ko kah?”
Berdasarkan prosedur, saya tinggal menjawab dengan “Ya” saja. Namun pertanyaan sederhana itu justru mendaratkan saya pada pertanyaan baru:
“Mengapa saya masih ada di sini?”
Seyogyanya, saya sudah meninggalkan tempat ini dari kemarin, bulan lalu, atau lebih tepatnya sedari tahun lalu.
Pengakuan ke dua: “Saya tak rela mengangkat kaki dari bumi BTP”.
Saya tak bisa menafikan fakta bahwa BTP adalah kawasan yang spesial. BTP bukan hanya sekedar letak geografis belaka, namun BTP adalah urusan emosional. Kompleks indie, setidaknya dari perspektif ekonomi. Sebuah kompleks perumahan yang mereka yakini bisa hidup sendiri tanpa adanya campur tangan pemerintah kota. Di tempat ini pula saya menghabiskan masa remaja dan membangun mimpi-mimpi yang mereka anggap absurd itu. Terbukti, di bab penutup kisah remaja saya, justifikasi mereka menang mutlak. Tak heran mengingat ke-absurd-an mimpi itu memang ada pada tingkatan yang sangat-sangat absurd. Bahkan terlalu absurd untuk dituliskan.
“Mengapa saya masih ada di BTP?”
Reaksi kimia di dalam otak ini berusaha memanipulasi pertanyaan tersebut dengan jawaban klasik: “Ah, sudahlah…”
Batin mengiyakan, senyum hangat kembali merekah, dan re-run Manchester United tadi malam semakin terlihat syahdu di layar kaca. Namun ada yang kurang, karena aksi akrobatik David De Gea tak akan mencapai puncak ejakulasi jika tak bertabrakan bersama secangkir kopi dan kepulan asap tembakau, sekalipun dilakukan di atas kasur bermotif bunga-bunga indah dengan aroma yang bertolak belakang.
Sialnya, tuan rumah tidak memiliki kopi dan gula. Semakin menjadi mengingat tabung gas yang ia miliki itu ternyata kosong! Entah apa motivasi dari si empunya rumah ini dengan menjadikan tabung gas berwarna hijau yang sejatinya ditujukan untuk rakyat miskin itu sebagai figura di sudut rumah semata. Saya mengakui, orang ini memang memiliki sense of art yang berbeda dari kebanyakan orang, beruntung saya adalah orang yang bisa menghargai perbedaan seperti itu. Perbedaan itulah yang membuat saya bisa menerima kenyataan akan sebuah kanvas putih begaris merah saja bisa dibanderol hingga jutaan dollar. Namun saya tidak bisa menerima kenyataan jika minggu ceria kali ini gagal terjadi.
Kegagalan minggu ceria yang mulai terendus itu segera saya respon dengan menjalankan plan B: Minum kopi di luar.
Tanpa mandi, hanya bersenjatakan Rexona sambil berharap ia bisa setia setiap saat (itu janji mereka di TV), saya meninggalkan blok K dan menuju sebuah coffee shop di area blok C. FYI, target yang saya tentukan ini merupakan coffee shop pertama di kawasan BTP dan terkenal akan pelanggannya yang kekinian. Mereka menyebutnya Infinite, dengan tagline “life begins after coffee”. Hal yang terlalu didramatisasi, karena sejatinya, “life begins after gajian”.
Saat kaki ini melangkah mencari celah di antara motor-motor tua yang berdiri nakal di pelataran Infinite, terlihatlah tawa riang dari wanita-wanita berjilbab yang sepertinya tidak akan mengalami problematika ketika lulus kuliah nantinya. Mereka terlihat mengagumkan. Saya akan menjadi orang pertama yang setuju jika ada yang mengatakan bahwa teknik menutup aurat seorang wanita berbanding lurus dengan suasana yang ia hadirkan di sekitarnya. Sejujurnya, sekalipun hidup saya kental dengan atmosfir “susah”, namun saya siap jungkir balik agar bisa menafkahi salah satu dari mereka. Lahir-batin. Dunia-akhirat, sebagai bonus.
Beberapa menit berlalu, dan pesanan saya tiba. Tentu saja, americano. Salah satu menu yang cukup murah dengan varian satu semut mungil di tepinya. Ya, itulah yang bisa dipesan jika Anda termasuk orang yang masih bergelut dengan masalah finansial namun tetap ingin menikmati kehidupan nongkrong. Kabar baiknya, orang seperti ini enggan untuk menjadikan satu semut mungil sebagai bahan perdebatan, karena ia paham bahwa adalah hal yang rumit untuk bisa menaruh semut secara utuh tepat di pinggir cairan dengan sudut kemiringan yang nyaris sempurna. Belum lagi cairan kopi tersebut memiliki warna yang selaras dengan tubuh sang semut. Dalam artian lain, dibutuhkan hitungan matematis serta pengetahuan akan konsep RGB dan CMYK agar bisa memadupadankan dua item dengan warna yang senada, namun tetap bisa dibedakan dengan mata orang awam. What a master piece!
Terlepas dari apa yang terjadi sebelumnya, toh, americano yang saya pesan akhirnya bertemu dengan tandemnya, kepulan asap rokok. Meskipun mereka mengatakan bahwa asap rokok itu bisa merusak cita rasa kopi, saya tak percaya. Lagipula, saya belum pernah menemukan jurnal atau penelitian apapun yang bisa menjelaskan distorsi antara kopi dan tembakau. Adapun koneksi yang saya temukan itu lebih bermuatan positif, seperti apa yang sering saya nikmati. Sekalipun hal tersebut juga belum pernah dibuktikan secara ilmiah, tapi saya sudah membuktikannya secara personal. Pun dengan teman-teman lainnya.
Setelah satu batang Marlboro menghakimi paru-paru dengan sebuah adegan bertajuk batuk kering, melintaslah perempuan bertubuh sintal dengan dada yang menyembul. Ia mengenakan kaos putih tipis berhiaskan garis-garis hitam yang tampak samar, namun siapapun akan bisa dengan mudah memvisualisasikannya sebagai objek bernama tali bra. Impian akan minggu ceria itu sepertinya terpenuhi kala ia memposisikan dirinya pada arah jam 2. Impian agar ia menumpahkan minumannya ke baju putih itu, sehingga garis-garis hitam samar itu pun bisa ditegaskan.
Sial, batang kedua dari Marlboro itu kembali menghukum dengan batuknya. Entah siapa dibalik narasi kali ini, sehingga batuk tersebut harus keluar ketika terjadi jeda antara satu lagu ke lagu berikutnya. Ya, batuk itu terdengar lantang dan tebakan Anda benar: Situasi canggung. Tentu saja.
Tampaknya, keturunan hawa itu beranggapan bahwa pria yang ada pada arah Timur Laut-nya itu mengidap penyakit kronis. Belum lagi tatanan rambutnya menciptakan citra layaknya pria yang baru saja kehilangan pekerjaan. Pengangguran dan penyakitan tentu bukanlah hal yang eksentrik bagi seorang wanita seperti dia, wanita yang membungkus dadanya dengan aksara “b-e-b-e”. Seingat saya, baju seperti itu dibanderol dengan harga $45 di situs resminya. Cukup berat untuk bisa ditebus oleh pria yang seumur hidupnya hanya mencari barang bekas di OLX.
Tapi apapun itu, saya tetap menikmati keindahan payudara yang ia tawarkan. Ditawarkan dalam bentuk pertanyaan: “Kamu suka atau tidak?”
Skenarionya adalah, kontak antara payudara dengan bibir meja yang ia lakukan sedari tadi merupakan petunjuk, dan tugas saya untuk meresponnya dengan jawaban “ya/tidak/bisa jadi”.
Lantas, jika Anda memerankan lakon saya kala itu, jawaban apa yang akan Anda berikan? Simpan jawaban Anda, karena kita berada di dalam grup paduan suara yang sama.
DIBALIK PAYUDARA
Semua pria di dunia ini akan menjadi sentimental saat menyoal payudara. Mereka senang dengan payudara. Itu faktanya dan jangan membantah! Tidak peduli adanya perbedaan ideologi, pandangan politik, hingga batas agama sekalipun, pria akan satu padu dalam lajur bernama payudara. Tidak ada keraguan dengan pernyataan tersebut. Semakin besar semakin bagus, namun kecil juga tidak mengapa, karena besar adalah jackpot!
Keindahan itu kembali membuat saya mengenang pertanyaan dari teman kost dulu, pertanyaan yang sebenarnya diajukan oleh pacarnya dan “diwahyukan” pada saya.
“Yan, nabilang pacarku, kenapa itu semua laki-laki suka sama tete’?”
Saya tertawa karena tidak tahu jawabannya dan menganggap itu sebatas monolog dari wanita yang baru puber saja. Namun karena pertanyaan tersebut terus ia dengungkan, saya pun menjawabnya dengan asal bahwa pria senang dengan payudara karena ingin mengenang kembali memori indah kala ia disusui oleh ibunya. Hal yang juga membuat saya ketagihan berada di BTP, untuk mengenang kembali memori-memori indah itu, namun bukan kala disusui oleh sang ibu.
Secara kebetulan, atau dikarenakan naluri cocokmologi saya muncul, ternyata jawaban yang ngasal itu sebenarnya valid secara ilmu pengetahuan. Setidaknya itulah yang akan Anda jumpai saat membaca buku “The Chemistry Between Us: Love, Sex and the Science of Attraction”. Penulis buku, Larry Young dan Brian Alexander, telah melakukan sejumlah studi dan menyimpulkan bahwa rasa ketertarikan seorang pria terhadap payudara muncul akibat adanya pengaruh hormon yang dilepaskan ketika ia masih disusui.
Hal ini berawal saat seorang wanita melahirkan. Pada momen tersebut, sang ibu akan melibatkan bayinya ke dalam proses manipulasi yang begitu kompleks terhadap payudaranya. Nah, proses yang cukup rumit inilah yang kemudian akan mengirimkan sinyal-sinyal di sepanjang syaraf dan otak yang akhirnya melepaskan hormon bernama oksistosin. Hormon ini sendiri merupakan jenis hormon yang akan merangsang otot-otot halus yang ada pada payudara wanita sehingga bisa memproduksi ASI. Hormon ini pula yang bisa membentuk ikatan emosional antara ibu dan bayi. Jadi, jika pasangan Anda adalah tipikal pria yang terkesan manja dengan ibunya, maka jangan menyalahkannya. Belajarlah untuk menyalahkan hormon oksistosin itu.
Lantas, seperti apa hormon oksistosin itu sebenarnya? Saya tidak berani menjabarkannya secara rinci, karena sejak di bangku sekolah saya memang tidak kompeten dalam hal eksakta. Batas pengetahuan saya hanya seputar fakta bahwa oksistosin merupakan jenis hormon yang Anda keluarkan ketika jatuh cinta, melirik lawan jenis di dalam kelas, stalking Instagram mantan yang ternyata masih sendiri, melihat tulisan “is writing messages” kala chat dengan gebetan, atau ketika Anda orgasme dengan fantasi seks bersama artis pujaan. Sederhananya, hormon oksistosin adalah candu bagi manusia. Inilah hormon yang kami lepaskan saat melihat payudara dari lawan jenis kami. Kecil atau besar, terbungkus atau tidak, asli atau implan.
MISKONSEPSI FANATISME PADA PAYUDARA
Untuk Anda para wanita, saya ingin meluruskan satu hal. Tidak ada satupun laki-laki di dunia ini yang belajar untuk menyukai payudara. Bapak kami tidak pernah memperkenalkan yang namanya payudara, kemudian memaksa kami untuk menaruh fanatisme di sana. Lagipula, dogma seperti ini hanya diterapkan oleh seorang Bapak ke anak laki-lakinya kala berbicara mengenai klub sepakbola atau tokoh politik idolanya.
Rasa tertarik akan payudara itu merupakan hal yang alamiah dan sudah menjadi rangkaian biologis sehingga terpatri di dalam otak setiap pria. Jadi, ketika kami melihat payudara Anda, terutama Anda yang berpayudara besar, jangan merasa tersinggung. Selain karena faktor alamiah, inilah cara kami dalam mengapresiasi fisik Anda. Ya, layaknya apresiasi yang Anda berikan ketika jalan di mall dan melihat papan bertuliskan DISKON!
Untuk Anda para wanita, saya sangat yakin bahwa Anda akan membungkus tulisan ini dengan konklusi emosional: Para pria hanyalah sekumpulan homo sapiens yang terlalu memprioritaskan masalah seksual. Ya, Anda benar! Anda tentu saja akan merasa kesal, bahkan merasa benci dengan para keturunan Adam ini. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena kekesalan yang bersifat dangkal sudah merupakan trademark dari kaum Anda.
***
Jika Anda termasuk sedikit wanita yang bisa menggunakan akal sehat, maka sudah jelas Anda bisa melihat sebuah keuntungan di balik rasa kesal itu. Namun jika Anda termasuk dari kebanyakan wanita yang lebih senang menggunakan emosi, maka saya akan membantu untuk menjelaskan keuntungan tersebut.
Mulai saat ini, jika Anda ingin menarik perhatian seorang pria, maka Anda tidak perlu lagi berurusan dengan benda-benda semacam foundation, lipstik, maskara, eyeliner, eyeshadow, hingga fenomena ganjil “alis editing”. Cukup kenakan push-up bra, maka Anda akan mendapatkan perhatian dari lawan jenis.
Dan, Anda akan mulai percaya dengan istilah… magic.
keep posting gan! hahaa 1 genre kita bro! be-be
Ini t4x dmn yah kak?
Dari judulnya, gua kira ni tulisan berbau esek-esek, tapi ternyata sangat berisi.
Berisi kek payudaranya Aura Kasih.
Keep posting gan!