snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / (Re)Interpretasi ke-kini-an

(Re)Interpretasi ke-kini-an

02.09.2016

Saya tidak terlalu yakin apakah “kekinian” merupakan kosa kata yang baku atau sudah masuk ke dalam KBBI, namun ini adalah istilah yang tergolong jamak. Kata “kekinian” sudah tampak menyerupai sebuah postulat dalam kehidupan kita, sehingga layak mendapatkan proposisinya sendiri. Kata ini pula yang membuat saya sering dicibir oleh teman sepermainan, dicemooh karena tidak menganut paham tersebut.

Apapun itu, bagi saya “kekinian” hanyalah dorongan hasrat mobilitas sosial semata, dan saya tidak terlalu tertarik untuk mengadopsinya. Namun saya terpaut untuk menelisiknya. Anda bisa membaptis saya sebagai pria kurang kerjaan, namun naluri alamiah ini acap kali mendorong untuk mengobservasi manusia-manusia dengan tingkah laku menarik, tidak peduli gender mereka.

Di suatu siang, saya meyaksikan seorang pria yang bergulat secara spartan melawan rasa laparnya. Pertarungan itu berlandaskan hitungan ekonomis, agar ia bisa mencicipi kehidupan ala restoran cepat saji pada malam harinya. Saya tahu bahwa dia lapar, dan saya tahu bahwa dia akan sangat berkenan jika saya mengajaknya makan siang. Namun saya tidak nyaman menyampaikan ihwal tersebut, karena ia sedang asyik bergumul bersama teman-teman “kekiniannya”.

Beruntung ada teknologi selular, sebuah senjata untuk berbicara empat mata tanpa harus ketahuan orang lain.

“Kamu belum makan siang kan?”

Ternyata, kemampuan saya dalam memahami sesuatu tanpa harus melalui penalaran rasional dan intelektualitas itu kembali benar.

Sambil bersantap siang bersama, ia mengisahkan sebuah skema kala uang kiriman orang tuanya mulai surut, yaitu dengan menghilangkan makan siang dari aktivitas harian sehingga masih memiliki anggaran untuk mampir di McD pada malam hari sembari memesan double cheeseburger & kola senilai 35rb. Cukup “atraktif”, mengingat dengan uang 35rb itu, ia sebenarnya bisa makan 3 kali secara kenyang di kantin kampus. Tapi baginya, rasa kenyang itu ternyata bukanlah hal yang substansial dibanding dengan makan burger sambil “check in” di jejaring sosial.

Pada lain kesempatan, seorang teman meminta referensi mengenai modus operandi fake GPS (sebuah aplikasi yang bisa menyulap lokasi seseorang di internet). Saya mengajukan syarat sebungkus Marlboro merah. Dia menyanggupi sembari bergumam karena jatah bahan bakarnya harus teralokasikan. Tapi baginya, bokek bukanlah sebuah kesulitan sepanjang ia bisa memanipulasi lokasinya di jejaring sosial yang seakan-akan menjadi saksi kemegahan sebuah konser musik di GBK.

Dan inilah dia… kaum miskin urban! Sebuah gejala yang sedang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, utamanya remaja 20-an. Lucu, karena mereka sebenarnya tidaklah miskin, namun mereka kelaparan dan kehabisan uang. Kondisi ini bukan sekedar rekaan, tapi sudah menjadi aktualitas dari kebanyakan masyarakat metropolitan Indonesia yang terlalu fokus akan tatanan sosial di lingkungannya. Mereka rela menghabiskan seluruh koceknya demi sebuah gaya hidup yang diyakini mampu menahbiskan kedudukan sosialnya.

Generasi kekinian, kata mereka. Namun saya lebih damai melabeli mereka sebagai kelas menengah ngehe’. Generasi yang berburu status di tengah himpitan ekonomi.

LOOKING GLASS SELF

Seorang sosiolog bernama Charles Horton Cooley mampu menginterpretasikan fenomena kekinian di atas dengan sangat jitu lewat sebuah konsep bernama looking glass self. Secara sederhana, konsep ini menjelaskan bahwa “Jati diri saya adalah apa yang orang lain katakan”. Dalam artian lain, seseorang akan mendefinisikan dirinya, identitas, status, dan segala hal yang berkaitan dengan pribadinya berdasarkan sudut pandang orang lain. Tanpa bermaksud menjustifikasi, namun orang dengan paham seperti ini akan sangat sulit dalam menemukan jati dirinya, karena ia memiliki alur berpikir yang sangat tergantung terhadap pemikiran orang lain. Semua yang ia lakukan bertujuan agar orang-orang menganggapnya kekinian dan eksis.

Satu hal yang sangat sering terlewatkan oleh para remaja 20-an (atau eksmud, apapun Anda menyebutnya) adalah mereka sedang sibuk untuk mengejar-ngejar sesuatu yang sebenarnya bersifat semu. Sekalipun pada akhirnya mereka berhasil mendapatkan jenis kepuasan yang diinginkan, hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Bisa dipastikan bahwa pencapaiannya tak disertai oleh efek pijakan yang kokoh. Pencapaian sosial yang ia raih terlalu rapuh. Mengapa? Karena target-target yang ia tuju itu memang hanya bersifat semu.

Semakin menarik, karena hal ini tidak hanya terjadi pada remaja 20-an, namun juga pada mereka yang sudah dewasa (dari perspektif usia).

KEKINIAN DAN DEGRADASI SOSIAL

Tujuan hidup kekinian membuat saya terkadang gagap dalam bersikap. Pada satu titik saya lelah mendengar omongan mereka yang mempersoalkan mengenai jenis ponsel yang saya gunakan. Namun di sisi lain, saya merasa pilu dengan mereka yang menjadi sosiopat berlatarkan sebuah produk berlogo buah apel yang sudah tergigit.

Terkadang saya jemu saat mereka berusaha menjinaki saya dengan manuver “selfie” atau “update location” saat makan. Namun saya juga terbahak melihat mereka melakukan hal-hal tersebut layaknya minum obat: 3x sehari.

Saya tidak skeptis terhadap pribadi yang eksis ataupun kekinian, karena hal tersebut sebenarnya bisa banyak melahirkan hal-hal positif, terutama dalam konteks bisnis. Namun hal-hal positif seperti itu tentu saja hanya bisa diraih jika aspek kekinian tersebut dilakukan secara “cerdas”.

Hingga saya menulis hal ini, saya masih tersuntuk apakah rasa kasihan atau kecewa yang memicu saya. Apapun itu, saya mulai merasa bahwa tujuan hidup kekinian sudah mentransformasi teman-teman saya menjadi regresif, mengikis sisi humanismenya. Mereka melakukan apapun demi hedonisme, demi komentar di Instagram bernada “Keren banget sis…!”

Kini, Anda mungkin mulai berpikir bahwa pria inilah yang sembunyi dalam selimut sembari menggunting dalam lipatan. Mungkin benar, namun jelas ada asas dibalik selimut itu.

Sistem limbik di tengah otak saya sudah tidak bisa dicurangi. Ia menginstruksikan rasa kecewa berlebih terhadap teman-teman semasa sekolah dulu, manusia-manusia yang tampak terlalu cinta terhadap dirinya sendiri. Individualistis dan narsisisme adalah kombinasi yang terus mereka pertontonkan saat kami nongkrong bareng. Sikap saling membantu dan gotong-royong yang dikumandangkan oleh guru PPKn dulu sepertinya sudah memudar. Implikasinya, mereka menjadi materialistis. Mereka memberikan apresiasi yang terlalu tinggi terhadap barang-barang material.

Pengaruh mereka sangat luas, namun saya sangat yakin bahwa media menjadi donatur yang paling dominan. Secara sepihak, media merumuskan seperti apa semestinya kita hidup. Media senantiasa mendengungkan jenis makanan apa yang harus kita makan, menggembar-gemborkan pakaian apa yang harus kita kenakan, mempropagandakan ponsel apa yang harus kita gunakan, hingga mencanangkan ke mana kita harus liburan. Sayangnya, dibalik apa yang mereka khotbahkan di atas bukit sana, mereka sama sekali tidak mengajarkan bagaimana cara untuk membayar itu semua. Ironis.

Saya tidak akan menunjuk batang hidung tertentu, namun saya akan lurus hati bahwa saya sudah tidak nyaman bergaul dengan kebanyakan teman-teman lama, bahkan teman-teman yang baru sekalipun. Berusaha untuk menentang lingkungan yang sepertinya bersekongkol dengan jurang kebangkrutan membuat saya putus akal. Mereka, sekelompok cucu Adam yang melewati pubertas dan tumbuh besar bersama saya sudah mengalami mutasi kejiwaan: Mental instan. Mereka tak lagi mengindahkan sebuah proses dalam mencapai sesuatu. Intinya adalah cepat dan bisa eksis!.

***

Tidak ada yang salah dengan mengikuti tren. Menjadi kekinian. Namun kita terkadang menemui diri sendiri telah melakukan dan memamerkannya secara berlebihan, sehingga memaksakan keadaan dan diri sendiri.

Pada akhirnya, kata “kekinian” membuat kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan, dengan uang yang sebenarnya tidak kita miliki, dengan tujuan hanya untuk membuat orang lain terkesan.

Kategori: Life Tag: Kekinian

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. Aurora.Borealis :

    02/09/2016 pada 10:22 am

    Akhirnya, ada juga yang ngejelasin apa yg selama ini ada di pikiran gua, dengan level yg berbeda.
    \m/

    Reply
  2. Snakepit :

    02/09/2016 pada 10:35 am

    hey, i know u. Coverdale?
    hahaha… got u.

    Reply
  3. Nurinzanah :

    03/09/2016 pada 7:43 pm

    Tulisan yg bagus. Kebetulan sy kuliah jurusan psikologi, dan byk mempelajari soal looking glass self ini.
    Fenomena ini sudah ada sejak abad 19, terutama di kota-kota industri. Hanya saja, saat ini, masyarakat di pedesaan juga sudah menjadikan hal seperti ini sebagai gaya hidup.
    Tak heran jika saat kondisi ekonomi kita meningkat secara makro, namun secara mikro tetap begitu-begitu saja. Malah semakin mengenaskan.
    Semoga makin banyak tulisan seperti ini, agar para remaja indonesia punya referensi lain sebagai pembanding.

    Reply
  4. Kucing Genit :

    03/09/2016 pada 7:46 pm

    Adek gak ngerti soal kekinian kaaak…

    Reply
    • Magento :

      09/09/2016 pada 8:07 pm

      Kekinian tuh kek gini dek:

      Reply

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·