snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Instagram

Instagram

28.05.2016

Tulisan ini bersifat sarkas, jadi jangan mengartikannya secara literal.


Kami lagi ngopi, ber-5.

Subyek pertama, pria yang sudah 8 musim menyaksikan Premier League sebagai seorang mahasiswa. Yang ke-2, pria berkeluarga yang sering menggunjingkan mertuanya namun hingga kini masih numpang di rumah mereka. Pria ke-3, seorang yang sedang dirundung keresahan karena tak kunjung memiliki brewok sekalipun sudah menginvestasikan 3 bulan waktunya bersama krim Wak Doyok. Yang ke-4, mahasiswi tingkat sangat akhir yang sedang dalam pencarian akan makna sejati dari seorang dosen pembimbing. Pria ke 5, saya sendiri, dengan kehidupan yang tak menarik sama sekali.

Secara narasi, kami ngopi ber-5. Namun secara aktualisasi, hanya gua yang ngopi. Ke-4 rekan sedang sibuk mengais love di Instagram sembari memeriksa feedback aplikasi chat-nya. Wajah mereka tampak sangat riang, atau pura-pura riang, atau mungkin bentuk wajah mereka yang memang selalu riang. Pria ke-5 tidak terlibat karena ia minoritas dengan keterbatasan ponselnya.

Setelah gua balik dari kasir untuk menyelesaikan tanggung jawab yang ditinggalkan begitu saja oleh mereka, maka pria ke-2 bertanya: “Bro, gak main Instagram?” Gua cuma senyum. Pria ke-1 dan ke-3 kembali menegaskan pertanyaan tersebut. Gua kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar, sembari memberikan isyarat kepada mereka untuk segera meninggalkan tempat ngopi yang penuh akan unsur anti kebhinekaan itu.

Sudah di tempat parkir, mereka masih menginterogasi mengapa saya tak kunjung bermain Instagram. Sangat antusias. Entah apa motifnya. Subyek nomor 4 bahkan memaparkan sejumlah keunggulan seorang manusia jika memiliki Instagram. Tak lupa pula, ia mengajukan sejumlah gagasan seperti apa masa depan umat manusia bersama Instagram nantinya.  Sepertinya, ia memiliki bakat di dunia MLM.

Selama era digitalisasi, entah sudah berapa kali gua mendengar pertanyaan bernada seperti itu, dan entah sudah berapa kali pula gua tersenyum. Ternyata, tidak semua orang dewasa itu memiliki pemahaman terhadap sebuah senyuman, bahkan senyuman yang lebar sekalipun.

Jadi, senyuman itu akan gua konversikan di sini, sehingga jika ada yang melontarkan pertanyaan seperti itu lagi, gua tinggal meminta mereka membaca tulisan ini saja.

Rekan-rekan sejawat. Ya, gua gak main Instagram. Mengapa? Pertama: Gua gaptek. Kedua: Gua gak punya duit buat beli smartphone, sekalipun itu hanya MITO. Ketiga: Instagram ternyata tidak bisa mengakomodir kebutuhan gua sebagai manusia.

Adapun kebutuhan gua sebagai manusia adalah:

  • Tawa langsung berbentuk audio-visual, bukan tawa jeda berbentuk emoticon.
  • Melihat teman-temanku dalam bentuk fisik, bukan dalam bentuk angka follower.
  • Mendapatkan sentuhan “love” di bahu, bukan sentuhan “love” di bawah caption.
  • Mengecap kopi di lidah, bukan melihatnya sebagai foto semata.
  • Kebutuhan gua sebagai manusia adalah: Ngopi ber-5, bukan sendiri.

*when i love you, i really fucking love you

28 Mei 2016,

Kehilangan makna nongkrong.

Kategori: Life Tag: Fiksi, Instagram

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. back2black :

    07/07/2016 pada 2:49 pm

    Hahaha..

    Reply

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·