snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Mereka, Teman S.M.A.

Mereka, Teman S.M.A.

19.05.2015

Sudah sekitar 5 bulan saya kehilangan hasrat menulis, terlalu larut ke dalam perilaku biologis model baru. Namun animo untuk menyentuh papan ketik murahan itu tiba-tiba saja mengemuka kala mentari di ujung Timur sana disambut oleh sebuah panggilan tak terjawab dari seorang teman lama. Sebut saja namanya Mawar. Saya memang tak menjawab, namun saya sudah memiliki gambaran akan materi yang ingin dia presentasikan.

Ya, sebuah amarah akan undangan pernikahan yang kemarin saya lewatkan begitu saja.

Jika menilik aspek kondisional (secara sepihak), bukan salah saya sepenuhnya. Pasalnya, perhelatan tersebut ia langsungkan terlalu pagi, sementara saya harus melakukan sesuatu yang sangat substansial di malam sebelumnya, yaitu menyaksikan pertandingan sepak bola.

Bukan, bukan perkara mangkir ini yang akan saya bahas, apalagi merangkai permintaan maaf yang berselimut alibi. Maaf, itu bukan kebiasaan saya. Apa yang hendak saya bahas adalah respon lanjutan yang ia lakukan setelah panggilan tak terjawab itu, yakni sebaris pesan singkat bertuliskan: ”Lov U all my best friend”.

Saya mulai tersenyum. Tertegun. Tersendat setelah sebelumnya ada 2 anak SMA yang secara teknis bolos sekolah menghampiri dan meminta korek. Sebuah aktivitas yang juga sering saya lakukan saat seusianya. Bolos dan menyulut rokok yang sebelumnya dibeli perbatang membuat saya merasa hebat kala itu, dan saya yakin mereka merasakan hal yang sama.

Benar, inilah pokok dari tulisan saya, masa SMA.

Saya sendiri bukanlah tipikal yang senang melakukan romansa bersama masa lalu, namun saya tidak bisa bohong bahwa pada titik ini saya ingin bersentuhan kembali dengan masa-masa SMA itu. Saya memulai cumbuan dengan meraba arsip-arsip masa sekolah dulu, sekiranya bisa menarik pelatuk nostalgia itu lebih dini. Sialnya, dokumen yang sudah dikonversi ke dalam bentuk digital itu ternyata tersimpan pada komputer yang ada di rumah, sementara saat kejadian tersebut berlangsung, saya hanya berhubungan dengan laptop yang lebih banyak mendokumentasikan film-film asusila.

Urusan nostalgia itu pun saya akhiri dan lebih memilih untuk berdiplomasi bersama apa yang telah disediakan oleh sang laptop. Namun karena sesekali saya melirik kegiatan dari kedua anak SMA yang sebenarnya belum begitu piawai dalam memperlakukan asap rokoknya, saya pun secara otomatis selalu digiring ke dalam lanskap putih dan abu-abu. Menyeret saya untuk mulai merangkai satu-persatu dari nama yang pernah ada dalam daftar absensi. Kedua anak SMA itu terus menjambak saya untuk merekonstruksi susunan bangku yang pernah ada dalam gambar denah kelas.

Ada benang-benang kusut yang saya temukan ketika mencoba menyusun kembali periode SMA itu, karena pasca merayakan kelulusan dengan mencorat-coret seragam, saya sudah jarang bertemu dengan mereka. Hanya satu-dua orang, itu pun sebenarnya lebih dikarenakan rumah kami yang masih satu lingkup RT/RW. Sisanya, seperti menjadi orang asing. Semakin menjadi mengingat kami harus masuk ke perguruan tinggi, yang mana secara otomatis akan menghadirkan lingkaran sosial yang baru. Hadirnya orang-orang dengan fisik, kepribadian, serta tingkah laku yang baru tersebut tergolong sesuatu yang normal dan cukup mengasyikkan, namun di sisi lain menciptakan jarak dengan teman-teman SMA. Singkatnya, kita mulai hidup masing-masing.

Namun di pembukaan bulan ini, saya tiba-tiba bertemu dengan salah satu dari mereka, seorang yang saya beri label Mawar pada paragraf awal. Ia menjambak rambut saya sambil berseru bahwa dirinya akan segera mengikatkan diri secara emosional dan administratif dengan seorang pria, yang tentu saja tidak saya kenal. Saya pun tidak heran, dan merasa tidak perlu heran, karena belakangan ini kabar yang menyeruak dari teman-teman SMA itu memang hanya seputaran akan menikah atau sudah memiliki anak. Bagian “heran” itu mungkin akan lebih pas jika dialamatkan kepada diri saya, seorang yang belum menikah dan masih menumpang di rumah orang tua.

Pertemuan dengan Mawar itu sendiri terjadi saat pesta pernikahan seorang keluarga yang juga kebetulan satu SMA. Ya, pernikahan atau pemakaman merupakan cara yang sangat alami untuk bertemu dengan teman-teman lama. Benar-benar tulus karena tidak membutuhkan prosedur janjian. Sangat bersahaja. Nah, momentum pernikahan inilah yang kemudian menjadi jembatan bagi saya untuk merajut silaturahmi dengan teman-teman yang lainnya. Sebuah silaturahmi yang diwujudkan ke dalam konsep bernama nongkrong. Kegiatan nongkrong bersama teman-teman SMA itu memang bukanlah sebuah peristiwa yang luar biasa dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun ada satu hal yang membuat saya kagum.

Sekalipun bertahun-tahun lamanya kita tidak saling berinteraksi, namun tidak ada rasa aneh yang muncul. Tak tampak rasa ragu untuk berbicara blak-blakan, menunjukkan sisi liar kita masing-masing. Kondisi tersebut tak terkecuali untuk hal-hal yang gelap sekalipun, di mana sebelumnya mungkin tak ada yang mengetahuinya. Dan… inilah bagian menarik dari sebuah kekerabatan ala SMA. Lihat, betapa mudahnya kita berbagi hal-hal demikian, berbagi hal-hal yang sebenarnya ada dalam ranah privat. Sesuatu yang besar kemungkinan kita sembunyikan dari kekasih ataupun orang tua.

Lantas, apa yang membuat itu semua berlaku? Mengapa tak ada rasa ragu dan kehati-hatian di sana? Ragu melihat mereka sudah memiliki status sosial yang berbeda dari sebelumnya. Berhati-hati karena mereka sudah menjadi orang-orang yang penting di lingkungannya. Atau paling tidak, dari segi usia, mengapa kita tak terbesit untuk menunjukkan sikap sopan-santun layaknya saat berbicara dengan orang lain?

Ah, entah mengapa, sepertinya kita baru saja nongkrong semalam. Sepertinya, komunikasi yang terkikis selama bertahun-tahun itu tak layak dibuka dengan kalimat “Apa kabar?”, namun lebih presisi lewat teriakan “Woi kampret…!”

Terlalu didramatisasi? Ya, sepertinya.

Kala berkunjung ke kediaman salah satu dari mereka, sebut saja Bunga, tak sedikitpun rasa canggung yang muncul saat bertatap mata dengan orang tuanya. Sepertinya, dia hanya seorang teman yang kebetulan berusia jauh di atas kami. Tidak perlu bertanya “apakah di rumah ini bisa merokok?”, sekalipun kami menyadari bahwa penghuni rumah ini beserta teman-teman perempuan lainnya sangat kontra terhadap asap rokok. Sekalipun sesekali mereka menutup hidung, sekalipun tangan mereka rutin mengibas-ngibas asap rokok yang mengepul di wajahnya. Tindakan yang bersifat ganjil, karena kami tidak memiliki rasa bersalah akan hal tersebut, namun akan menjadi sebuah kontradiksi saat diterapkan bersama pihak non-SMA.

Meskipun sadar bahwa beberapa di antara mereka memiliki rutinitas yang padat pada pagi hari, namun tidak ada rasa ragu untuk ngobrol hingga larut malam. Bahkan sekalipun waktu itu si Bunga lepas kendali dan lebih memilih untuk mengusir kami, pasti kami akan menunjukkan tanggapan yang atraktif. Sebuah respon yang saya yakini akan menyulut topik-topik baru yang tak berkesudahan. Sementara dari pihak orang tua Bunga, terkesan santai saja. Atau mungkin saya yang tidak memiliki kemampuan untuk menangkap gestur tubuh orang tua? Ah, tak mungkin. Buktinya, ia ikut larut dalam pembicaraan dengan sesekali menanyakan kabar dari teman-teman yang lainnya.

***

Pada tahap ini, saya memiliki argumentasi tersendiri mengapa kita selalu merasa nyaman terkoneksi hanya berlandaskan “satu SMA”. Besar kemungkinan itu dikarenakan SMA adalah masa di mana kita mengalami puncak pubertas yang terkenal rumit dan kompleks itu. Pada masa inilah kita mencoba hal-hal baru, benar-benar baru untuk pertama kalinya. Beberapa memang masih sesuai dengan tindak tanduk seorang remaja, namun banyak pula kegiatan-kegiatan yang kita lakukan itu terlalu mendahului usia kita. Misalnya saja… Ah, tidak etis jika saya menorehkannya di sini. Namun sepertinya, ketidak-etisan itulah yang membentuk semacam ikatan emosional. Sebuah ikatan yang menempatkan kita pada level tersendiri.

Mungkin sudah saatnya kita menyerukan bersama bahwa terbentuknya ikatan emosional itu dikarenakan satu hal: Kita pernah menjadi sekumpulan remaja yang tumbuh bersama.

Ya, saya tahu bahwa ini terlalu didramatisasi.

Kategori: Life Tag: Pendidikan, Sekolah, SMA

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·