snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Salah Kita Sendiri

Salah Kita Sendiri

18.12.2016

Saat Anda membaca tulisan ini, timnas sepakbola kita kembali batal menjadi jawara. Di dunia digital sana, para pencemooh sudah luntang-lantung dengan segala sumpah serapah ala media sosialnya. Tak tersisa. Termasuk saya dan Anda.


Sebuah negara yang berhasil keluar sebagai juara tentu sudah mendapat lindungan dalam lembaran sejarah. Sayangnya, dikarenakan dalam setiap kompetisi itu hanya terdapat satu juara, maka yang mengisi slot ke dua itu hanya berakhir pada sudut ingatan terjauh mereka saja. Ya, kita, masyarakat dengan tim sepakbola yang nyaris juara merupakan serial tulisan yang layak untuk dikenang, sekalipun kejayaan sepertinya luput dari jangkauan kita.

Dan sepertinya, Tuhan, atau siapapun yang bertanggung jawab terhadap kehidupan ini, terlalu sibuk untuk ikut mengurusi permasalahan sepakbola indonesia, bahkan terlalu sibuk untuk sekedar melempar koin saja. Siapapun mereka yang menggagahi timnas selalui dinaungi keberuntungan dengan berada sejengkal saja dari etalase piala, namun mereka tak pernah cukup beruntung dalam menggapainya. Timnas kita bukan hanya satu dua kali berada dalam jarak yang sangat dekat akan kegemilangan, namun terjadi hingga lima kali.

Entah dendam macam apa yang dimiliki oleh Dewi Fortuna terhadap negara ini, khususnya kepada Alfred Riedl. Di penghujung tahun, sang Dewi kembali memutar album bertema harapan kepadanya. Namun di akhir playlist, ia menyadari bahwa nada-nada memabukkan itu hanyalah sebatas re-package dari album bertajuk “AFF Sucks”. Kita, dalam catatan pegelaran AFF merupakan personifikasi kata “nyaris” yang begitu sempurna. Dan kita, masyarakat pecandu sepakbola, adalah manusia-manusia yang sudah lima kali bertunangan dengan Dewi Fortuna untuk kemudian ditinggal kawin demi orang lain.

Mari kita jujur-jujuran. Bahkan untuk Anda orang Indonesia yang mengaku patriotik, berdarah-merah bertulang-putih, atau apapun itu, tentu masih memiliki keraguan bahwa kita akan meraih prestasi dalam sepakbola bukan? Kecewa karena kalah? Tentu saja, tapi tak ada guna menjadi naif. Lima kali kita mencapai final dan berakhir sebagai pengisi slot ke dua menunjukkan di mana sebenarnya posisi kita dalam percaturan sepakbola Asia Tenggara.

Anehnya, selalu ada alasan yang membuat kita selalu ingin kembali menyaksikan tim sepakbola negara kita bertanding, sekalipun sadar kita sudah cukup lama dikecewakan olehnya. Kita marah karena tim kita tak kunjung menjadi juara, dan selalu berikrar bahwa kita tidak akan lagi peduli dengan pertandingan di masa yang akan datang. Namun ironis, karena kita membuat janji tersebut hanya untuk dilanggar saat pegelaran AFF itu kembali dimulai.

Jatuh cinta kita kepada sepakbola itu sama seperti jatuh cinta seorang manusia kepada lawan jenisnya. Mereka melakukannya tanpa harus memasukkan kemungkinan sakit hati yang sudah menunggu di ujung jalan sana. Ketika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi penggila sepakbola, maka di saat itu pula ia sudah menandatangani kontrak yang berisikan pernyataan bahwa segala perubahan emosional yang menyertainya akan ditanggung sendiri. Hal yang sebenarnya kurang lazim mengingat tidak ada orang yang mau membawa dirinya masuk ke dalam masalah. Namun kita, para pecinta sepakbola, justru melakukannya dengan sadar.

…dan kita semua menyadari bagaimana pola sepakbola negara ini sudah mematahkan hati kita semua.

Muncul rasa skeptis di awal kompetisi, kemudian muncul sedikit harapan, tumbuh berbagai elemen pendukung yang menegaskan harapan tersebut, kemudian kita berhenti dan mulai bertanya, “Apakah benar bahwa ini sudah saatnya tim sepakbola kita menjadi juara?” Lalu, bagi mereka yang percaya akan Tuhan, mereka mulai berdoa. Mereka yakin akan sampai di sana. Kala optimisme sudah membumbung tinggi di udara, cukup sekali kibasan saja, sepakbola menghempaskan kita semua. Semakin tinggi kita menaruh harapan di awal kompetisi, maka semakin keras kita terjatuh di akhir kompetisi.

Kita merasa terpukul, kecewa, dan patah hati. Lalu kita kembali menjadi skpetis dan cenderung negatif dalam memandang sepakbola nasional, terlebih saat menemuinya bersenggama bersama produk sosis. Namun entah bagaimana cara dunia ini bekerja, karena setelah rehat sejenak, maka akan ada elemen-elemen baru yang kembali menumbuhkan harapan tersebut.

Dari sini, pola tersebut akan kembali berulang seperti di atas, dengan hasil akhir yang familiar: Patah hati.

Namun inilah bagian yang sangat tidak masuk akal mengenai para penggemar sepakbola. Secara sadar kita memasukkan diri kita ke dalam lingkungan yang mana kebahagiaannya bergantung pada ujung peluit panjang. Kita sadar bahwa probabilitas dari kebahagiaan itu lebih kecil dibanding dengan probabilitas bermandikan nestapa. Tapi kita tak mengeluh. Sekalipun ada yang mengeluh, bukan untuk waktu yang lama. Lingkungan menunjukkan bahwa keluhan itu paling lama bertahan hanya pada pertandingan berikutnya.

Sebagai sesama pendukung sepakbola, Anda tentu paham dengan apa yang saya bicarakan. Kasih kita sebagai seorang suporter kepada tim nasional memiliki koridor yang setara dengan kasih sayang terhadap lawan jenis. Hampir tanpa syarat!

***

Mereka bilang, “sepakbola itu membuat orang-orang terhibur”. Namun apa yang selama ini kita rasakan sebagai suporter Indonesia adalah “sepakbola itu membuat orang-orang depresi”. Kita kecewa dan terus melemparkan caci maki. Tapi kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena kita sendiri yang membawa tubuh ini ke dalam lembah caci maki.

Terakhir, mari kita jujur bahwa kita tidak terlalu peduli dengan hasil semalam. Apapun yang terjadi terhadap sepakbola Indonesia, kita akan selalu kembali lagi. Salah kita sendiri jatuh cinta dengannya, dengan sepakbola Indonesia.

Kategori: Life Tag: Sepakbola

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. vivi :

    29/04/2017 pada 6:20 pm

    hai ian. do u remember me?
    cmon visit ma blog akusenjamu.wordpress.com huahahaha

    Reply
    • Ian :

      30/04/2017 pada 1:04 am

      dammit, it was you…
      the girl who ask me Lennon or Cobain?

      Reply

Leave a Reply to vivi Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·