Di tanah harapan yang bernama Old Trafford, kisah epik penuh lika-liku kembali bergulir. Setelah Erik ten Hag yang dielu-elukan sebagai arsitek kebangkitan, kini giliran Ruben Amorim yang diarak dalam teater tragedi yang tak pernah usai. Fans, seperti biasa, menyambut dengan tangan terbuka, senyum penuh harap, dan optimisme yang tampaknya abadi meski berkali-kali terhempas ke jurang kekecewaan.
“Kali ini pasti berbeda,” ujar seorang fan yang sudah membeli jersey baru dengan nama Amorim di punggungnya. Sebuah ritual tahunan yang entah kenapa masih mereka percayai membawa keberuntungan. Apakah Ruben Amorim tahu dia bukan sekadar pelatih? Dia adalah dewa penyelamat terbaru yang harus mengangkat klub dari rawa mediokritas, sambil tetap mempertahankan aura mitos kebesaran Sir Alex Ferguson, sang patriark legendaris yang setiap tahunnya semakin terlihat seperti mitos Yunani, tidak pernah mati, tetapi tidak lagi hadir.
Mari kita ulas pola klasik yang kini sudah menjadi tradisi. Pelatih baru datang, membawa “filosofi” yang katanya akan merevolusi permainan. Fans terpukau oleh presentasi PowerPoint dan kata-kata mutiara dalam konferensi pers pertama. Media sosial dibanjiri tagar #TrustTheProcess, dan semua orang percaya bahwa kesabaran adalah kunci.
Namun, mari berhenti sejenak untuk merenung, karena siklus ini begitu menggelikan dalam kebosanan yang ditawarkannya. Seperti penonton sinetron yang tahu tokoh antagonis akan muncul di akhir episode, kita semua tahu ke mana cerita ini akan berujung. Ruben Amorim akan memulai dengan nada positif, meraih beberapa kemenangan heroik melawan rival yang terbilang tangguh. Tapi kemudian, seperti biasanya, musim dingin akan datang, baik secara literal maupun metaforis.
Setiap ganti pelatih, harapan itu selalu muncul seperti balon yang terus menggelembung. Hanya butuh beberapa pertandingan buruk, sebuah kekalahan memalukan dari klub papan bawah atau kekalahan telak dari Liverpool, sudah cukup untuk menusuk balon itu hingga meletus. Narasi akan bergeser. Dari “Percayalah pada proses ini” menjadi “Apakah Amorim benar-benar pilihan yang tepat?”
Fans yang tadinya menggantungkan semua harapan pada bahu Amorim akan mulai memeriksa ulang pilihan mereka. Analisis taktis di YouTube akan bermunculan, menyoroti mengapa formasi 3-4-3 miliknya tidak cocok dengan bakat alami Harry Maguire yang tampaknya ditakdirkan untuk membuat blunder. Fans yang tadinya memuji-muji, mulai berbisik: “Dia mungkin belum siap untuk level ini.” Lalu berteriak: “Amorim out!”
Dan mari kita bahas pengelolaan pemain, area lain di mana Manchester United tampaknya menjadi laboratorium eksperimental yang paling tidak stabil di dunia sepak bola. Menarik melihat bagaimana Amorim akan menangani ikon klub seperti Marcus Rashford yang performanya naik-turun seperti rollercoaster di taman hiburan. Apakah Alejandro Garnacho akan menjadi bintang muda yang bersinar di bawahnya, atau malah menjadi selegram seperti Paul Pogba? Dan, lebih penting lagi, apakah ia akan berani menyingkirkan kebiasaan klub membeli pemain mahal yang akhirnya hanya menjadi penghias bangku cadangan?
Tentu saja, Ruben Amorim punya CV menarik. Pengalaman di Sporting CP disebut-sebut sebagai bukti dia punya kemampuan untuk memimpin klub menuju kedigdayaan. Tapi tunggu dulu, bukankah kita pernah mendengar narasi yang sama tentang David Moyes, Louis van Gaal, José Mourinho, Ole Gunnar Solskjær, dan Erik ten Hag? Apa yang membuat fans berpikir skenario ini akan berbeda kali ini?
Ah, mungkin kali ini Amorim memiliki “keajaiban” yang belum pernah dimiliki pendahulunya. Mungkin strategi pressing dan transisinya akan mengalahkan Pep Guardiola, atau mungkin dia akan menemukan cara ajaib untuk membuat Harry Maguire bermain seperti Virgil van Dijk. Atau, mari kita lebih realistis, mungkin dia hanya pelatih berikutnya yang akan digilas oleh ekspektasi tidak masuk akal klub ini.
Tetapi, jangan khawatir, saudara-saudara, karena Manchester United selalu punya solusi: mengulangi pola lama mereka. Ketika segalanya mulai kacau, ketika gelombang kekalahan terlalu deras untuk dibendung, kita semua tahu apa yang akan terjadi. Ruben Amorim akan dipecat. Fans akan mengeluh, tetapi juga merasa lega. Klub akan mengumumkan pelatih baru, dan lingkaran setan ini akan dimulai lagi. Kita akan melihat tagar seperti #WelcomeNewCoach memenuhi lini masa media sosial, dan semua orang akan berpura-pura percaya bahwa kali ini, semuanya akan berubah.
Ironisnya, mungkin inilah yang membuat Manchester United begitu unik. Klub ini bukan lagi sekadar institusi sepak bola; ia telah menjadi eksperimen sosial tentang bagaimana menciptakan harapan dari kehampaan dan menghancurkannya dengan kecepatan yang sama. Ruben Amorim adalah pelatih kesekian dalam cerita rakyat yang bercampur fantasi ini, seorang aktor baru dalam drama yang naskahnya sudah terlalu sering dimainkan.
***
Untuk saya, dan para fans Manchester United, mari kita mengernyitkan kening dan menyeruput kopi dengan sinis. Nikmati periode bulan madu ini, karena seperti semua hal indah yang singkat, itu pasti akan segera berlalu. Dan untuk Ruben Amorim, semoga sukses, Tuan. Anda tidak hanya melatih tim sepak bola. Anda juga harus menjadi penulis naskah drama, psikolog amatir, dan penyelamat yang tak mungkin diselamatkan. Oh, dan jangan lupa belajar cara menghindari pisau tajam bernama ekspektasi.
Jika ada satu hal yang konsisten dari Manchester United pasca Sir Alex Ferguson, itu adalah kemampuan mereka menciptakan ilusi kebangkitan sebelum kembali jatuh lebih keras. Tuan Ruben Amorim, selamat datang di Old Trafford: Tanah harapan yang selalu menjadi kuburan bagi mimpi para pelatih.
Sampaikan Komentar Anda: