Perhatian: Jika Anda termasuk golongan yang lembut dan perasa (baca: mudah tersinggung), sebaiknya tinggalkan halaman ini!
Premier League belum juga memulai kompetisi baru, namun sejumlah rekan yang mengaku hidup dan matinya hanya untuk sebuah klub sepakbola di Inggris itu sudah memulai “kompetisinya” lebih awal.
Adapun pihak yang saya tunjuk kali ini adalah para suporter yang senantiasa menghabiskan akhir pekannya untuk menyaksikan pertandingan sepakbola lewat sebuah kotak ajaib bernama televisi. Biasanya, mereka berkumpul di kafe dan duduk manis sambil menikmati kacang dan soda, dengan menggunakan sedotan tentunya.
Cukup menarik melihat mereka saling beradu argumen dan menonjolkan fanatismenya masing-masing. Topiknya pun tidak pernah jauh dari masalah dominasi dan superioritas. Klub mana yang paling hebat, pesepakbola mana yang paling jago, dan fans klub mana yang paling loyal. Untuk topik terakhir, saya sangat tertarik untuk membahasnya mengingat saya juga merupakan salah satu anggota dari fans klub bola asing di Indonesia (meskipun musim ini belum memperpanjang keanggotaan).
Ketertarikan itu bermula kala seorang teman yang mengaku terlahir untuk Manchester United melabeli para pecinta Chelsea FC sebagai plastic fans. Di seberang, seorang teman yang juga mengaku terlahir untuk Chelsea FC justru mengarahkan tuduhan plastic fans itu kepada suporter Manchester City. Yang paling hangat tentu saja, jajaran fans klub-klub besar di Inggris beramai-ramai menghujat kader muda Leicester City sebagai the real pastic fans. Begitu seterusnya.
Entah mengapa, ada yang hilang dari diri mereka jika tidak menghina fans klub lain, dan hal tersebut sudah bersifat adiktif. Layaknya pengguna narkoba yang sedang sakau.
PLASTIC FANS
Pada awal 90an, kompetisi di Inggris bukanlah sesuatu yang menarik bagi dunia, bahkan untuk pecinta sepakbola global sekalipun. Lagipula, apa yang menarik dari sepakbola Inggris selain menjadi kampiun Piala Dunia 1966 karena dihelat di tanah sendiri?
Namun ketika Sky Sports di tahun 1992 memberanikan diri untuk mengenalkan sepakbola Inggris ke kawasan Asia, maka seketika itu pula Premier League meraih kepopulerannya. Alasannya sederhana, karena sepakbola di kawasan Asia itu sendiri tidaklah terlalu menarik sementara di sisi lain Premier League mampu memenuhi kriteria menarik tersebut.
Seiring waktu, Premier League menjadi candu bagi masyarakat Asia. Dengan sendirinya, mereka mulai memilih mana klub yang menjadi idolanya. Mereka mulai berkelompok, dan atas dasar kesamaan klub, terciptalah sebuah perkumpulan yang disebut dengan fans club. Sebuah identitas sosial, tentu saja.
Kondisi ini jelas menjadi angin segar bagi persepakbolaan Inggris, namun tidak bagi suporter lokalnya. Bagi mereka, orang-orang di Asia tersebut tidak layak menjadi fans. Perbedaan geografis, kultur, kelas sosial, serta tidak adanya ikatan emosional menjadi alasan utama mengapa mereka menganggap suporter-suporter di Asia tersebut tidak layak untuk menjadi seorang fans klub di Inggris.
Mereka merasa jijik melihat manusia berpostur kecil dan berkulit sawo matang itu membalut tubuhnya dengan atribut klub sepakbola milik mereka. Menduplikasi identitas tradisional mereka. Tidak perlu heran, karena suporter di Inggris memang terkenal rasis. Nah, untuk mempermudah identifikasi terhadap suporter asal Asia tersebut, mereka menciptakan istilah plastic fans. Berat untuk mengatakannya, tapi inilah jati diri kita yang sebenarnya. Jati diri fans klub asing di Indonesia.
Namun fans-fans di Asia (termasuk Indonesia) tidak tinggal diam. Mereka melakukan aktualisasi. Pembuktian. Mereka melibatkan dirinya dalam segala aktifitas yang berkaitan dengan klub idolanya. Segala aspek diserap, mulai dari mengenakan jersey replika, menghias kamarnya dengan potret sang pemain, hingga mencorat-coret kendaraannya dengan nama klub yang bersangkutan. Tidak sampai di situ, dalam hal gaya hidup, mereka mulai menyadur konsep holiganisme hingga kasualitas. Begitu pula dengan chants-chants berbahasa asing yang dilantunkan secara lantang saat timnya bertanding. Puncaknya adalah ketika mereka mengadopsi pertikaian (verbal dan fisik) antar klub sepakbola Inggris ke dalam kesehariannya. Aksi heroik katanya. Tidak bisa dibenarkan, namun bisa dimengerti.
Sudah menjadi hal yang umum jika suporter lokal Manchester United di sana menaruh kebencian yang teramat besar kepada para suporter Liverpool, begitupun sebaliknya. Alasannya jelas, karena mereka memang hidup di sana dan sudah menjadi saksi historis dari pertikaian selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Secara kultural, mereka ditempatkan pada ruang yang sama.
Sementara untuk suporter Manchester United di Indonesia, apa yang menjadi landasan mereka sehingga membenci suporter Liverpool yang juga merupakan warga negara Indonesia itu? Lucu mengingat pada akhir pekan kita semuanya sedang asyik berkumpul di kafe meyaksikan pertandingan yang dihelat beribu-ribu kilometer jauhnya di sana. Memang kita larut dalam pertandingan tersebut, namun kita sama sekali tidak berbagi emosi dengan mereka di Inggris.
Itulah mengapa di mata suporter lokal di sana, kita hanyalah sekumpulan plastic fans.
Inilah yang membuat saya tergelitik melihat rekan-rekan suporter kelas kafe tersebut saling hina: Plastic fans teriak plastic fans…!
Anda mungkin berkilah bahwa letak geografis serta ikatan emosional itu bisa dikesampingkan. Anda mungkin bisa membela diri bahwa kecintaan terhadap sebuah klub sepakbola itu bisa menembus ruang dan waktu. Maaf, tapi saya tidak percaya dengan hal tersebut. Bagi saya, letak geografis memiliki peran tersendiri, bahkan tergolong krusial ketika kita berbicara kecintaan akan sebuah klub sepakbola.
Pernahkah Anda melihat seorang fans Manchester United di Indonesia tiba-tiba menjadi fans Manchester City? Atau seorang fans Real Madrid di Indonesia yang berubah haluan ke Barcelona? Tentu saja pernah. Namun pernahkah Anda melihat seorang fans Persija menjadi fans Persib? Atau fans Arema menjadi fans Persebaya? Tentu tidak! Itulah mengapa letak geografis memiliki kaitan yang erat terhadap klub yang dicintai. Lahir dan tumbuh besar di wilayah tersebut menciptakan ikatan emosional tersendiri terhadap sebuah klub, tidak peduli torehan prestasinya.
Lalu, jika konteksnya lebih luas, dalam hal ini klub asal Inggris, apa yang menjadi alasan kita sehingga bisa jatuh hati pada sebuah klub yang ada di sana? Tentu saja alasan prestasi. Sebuah bohong besar jika ada orang di Indonesia yang fanatik terhadap sebuah klub yang aktifitasnya hanya berkutat di zona degradasi saja. Ini pula pemicu munculnya istilah glory hunter.
Mungkin alasan mencintai sebuah klub sepakbola di atas masih bisa kita perdebatkan. Namun tetap saja menjadi hal yang lucu melihat seorang yang lahir di pelosok Indonesia sana mengaku hidup dan matinya hanya untuk Manchester United. Sangat lucu melihat seorang teman yang lahir di Selatan Sulawesi sana memasang profil picture bertajuk Born to be United. Hal yang berbeda akan berlaku jika orang tersebut memang lahir di Manchester, makan, tidur, dan hidup dengan menghirup udara kota Manchester. Ya, dia memang layak untuk Born to be United!
Sekali lagi, Anda mungkin tidak akan sependapat dengan saya. Naluri Anda sebagai seorang manusia yang selalu ingin diasosiasikan dengan hal-hal terbaik akan membuat Anda meyakinkan diri bahwa persoalan geografis itu bukanlah sebuah masalah. Kecintaan Anda kepada klub di Inggris sana adalah sesuatu yang murni dan absolut. Sebuah takdir, begitu yang saya dengar.
OK, anggaplah hal itu benar. Namun pernahkah Anda berpikir sejenak bahwa sefanatik-fanatiknya Anda, saya, dan kita semua terhadap sebuah klub di Inggris, tetap saja di belahan dunia lain kita ini hanya dipandang sebagai sekumpulan plastic fans. Lalu bagaimana dari perspektif klub itu sendiri? Sama saja. Bagi pihak klub, kita hanyalah sekumpulan angka-angka statistik yang jika diolah dengan manajemen yang tepat, maka akan menghasilkan uang: Membership, penjualan jersey, hingga tur pra-musim.
Sulit untuk memahami. Namun yang lebih sulit untuk dipahami adalah, mengapa para plastic fans itu saling hina dan selalu merasa dirinya lebih baik dari plastic fans lainnya?
Di awal tulisan Anda sudah diperingatkan!
haha keren tulisannya, tetap bangga sama klub lokal
Itu lah yang dibutuhkan plesbol (Plastic Fans yang saling menghina) di kolom komentar. Hahahaha