Untuk pria modern seperti Anda, sinetron tentu saja terasa seperti sebuah sampah, dan tak ketinggalan para penikmatnya. Bahkan untuk pria pinggiran seperti saya sekalipun, sinetron termasuk hal yang sangat mengganggu.
Hampir 2 dekade yang lalu, “Tersanjung” membuat bocah-bocah Indonesia puber lebih dini, dilanjutkan dengan “Cinta Fitri” yang merampas keperjakaan sebelum waktunya. Hingga kini, kita sudah berjenggot namun masih saja ditemani hal senada lewat “Ganteng-Ganteng Serigala”.
Untuk mereka yang tumbuh dengan nuansa demikian, tentu ada rasa apatis terhadap sinetron dan segala hal yang terkait dengannya. Tak ada rasa bersalah untuk mencibir para penikmatnya. Justru ada rasa bangga kala menghina mereka akan pemujaannya terhadap sinetron. Tidak peduli bahwa ia adalah anggota keluarga sendiri, sang ibu.
Beruntung bagi mereka yang memiliki akses terhadap sepakbola, karena olahraga tersebut bisa dijadikan sebuah penawar. Namun bagaimana dengan mereka yang tidak senang dengan sepakbola? Menemani anggota keluarga menyaksikan sinetron sambil menciptakan sarkasme di dalam hati. Sarkasme terhadap tontonan bodoh dimana protagonis tersiksa sepanjang episode dan hanya bahagia di akhir cerita saja. Belum lagi dengan bumbu anakronisme itu: Manusia menjadi serigala. Semakin bodoh melihat penontonnya bicara sendiri. Jika sudah tak tertahankan, maka keluarlah kalimat universal itu, “Untuk apa sih mama ikut-ikutan ngomong, lah mereka yang di TV juga gak bakalan denger kok!”
Sebagai anggota dari “Gerakan Anti Sinetron di Ruang Keluarga”, kita tentu sangat membenci jika sang ibu bisa memiliki daya empati terhadap skenario sebuah sinetron. Tidak rela rasanya melihat kehidupannya terenggut oleh bujuk rayu sinetron. Kala ekspresinya bisa beradaptasi mengikuti narasi yang dipancarkan lewat layar kaca itu, maka bisa dipastikan bahwa ia sudah masuk ke dalam “sekte” sang penulis naskah. Tidak habis pikir, mengapa ibu kita mau membuang-buang energinya untuk debat panel bersama para penulis skenario yang memiliki kesusastraan aneh itu. Sebuah kesusastraan yang bisa menciptakan kesenjangan tidak masuk akal antara protagonis dan antagonis.
“Ih, jahatnya ini perempuan!”, “Deh, kenapa itu perempuan masih hidup kah!”, “Masih mau…! Itu kau dapat kalau jadi orang jahat”. Ya, kira-kira seperti itulah hasil riset yang saya lakukan sepanjang hidup di ruang keluarga sendiri dan ruang keluarga orang lain.
Kita dengan mudahnya akan menginterpretasi hal tersebut sebagai sebuah anekdot. Alasannya jelas, karena kita memiliki tontonan lain yang terasa lebih berkelas, sepakbola. Namun tanpa tersadar, kita melakukan hal yang sama dengan para penikmat sinetron, bahkan bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang kasar menjurus anarkis. “Woi wasit, pelanggaran!”, “Ah, ini wasit anjing!”, “Itu offside, dasar wasit kontol…!” Akuilah, kita senang melakukan hal-hal tersebut.
Lantas, salahkah jika saya berkata bahwa para penonton sinetron memiliki watak yang sama dengan para penonton sepakbola? Silahkan Anda menilainya sendiri.
OK, sebagai penikmat sepakbola, Anda mungkin bisa mentolerir bahwa perilaku Anda memang sama dengan penikmat sinetron. Namun dalam konteks kualitas, Anda akan membela diri dengan mengatakan bahwa tayangan yang disaksikan berbeda. Sepakbola adalah tontonan bermutu, sementara sinetron tidak, sangat jauh bahkan. Anda yakin?
MENGAPA SINETRON?
Apakah Anda tahu jawaban pasti mengapa ibu-ibu bisa suka dengan sinetron? Apakah karena para pemainnya yang rupawan? Apakah karena alurnya yang menegangkan? Atau karena sinetron tersebut merupakan tontonan yang populer di lingkungan para ibu-ibu?
Semua pasti setuju bahwa standarisasi utama di dalam sinetron adalah pemeran utama yang selalu disiksa terus menerus, kemudian mendapatkan kebahagiaan hanya di akhir episode saja. Bagi kita para penikmat sepakbola, ini adalah hal bodoh. Namun bagi ibu kita, justru inilah yang menarik minatnya, apalagi jika ia termasuk ibu rumah tangga yang juga harus mencari nafkah.
Dari awal sinetron tersebut ditayangkan, sang Ibu sudah paham betul bahwa kebahagiaan hanya akan terjadi di akhir episode, selebihnya hanya penderitaan. Meski demikian, ia akan tetap setia menunggu agar bisa melihat kebahagiaan tersebut, sekalipun itu adalah episode terakhir, sekalipun hanya berdurasi 1-2 jam, sekalipun harus terpotong oleh iklan para pemain bola yang makan sosis so nice.
Menantikan cerita di akhir episode adalah poin utama yang membuat ibu-ibu kita terjerat ke dalam candu benama sinetron. Mereka setia menunggu entah sampai kapan hanya demi melihat episode yang membahagiakan itu. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Karena itu adalah representasi dari kehidupan sehari-harinya, representasinya sebagai ibu rumah tangga.
Anda tahu betapa sulitnya menjadi ibu rumah tangga? Mungkin kata sulit belum cukup untuk menggambarkannya. Nah, sinetron adalah tayangan yang bisa mewakili perasaan tersebut. Cobalah untuk menyaksikan sinetron, maka Anda akan melihat pemeran utama yang cantik itu selalu tersenyum sekalipun disusahkan dengan jalan cerita. Cobalah untuk menyaksikan sang ibu, maka Anda akan melihat orang yang melahirkan Anda itu selalu tersenyum sekalipun disusahkan dengan urusan rumah tangga.
Ibu kita paham bahwa sejak ia memutuskan untuk menikah dan memiliki keluarga, maka hidupnya akan penuh dengan masalah. Ia menyadari bahwa fragmen hidupnya sudah memasuki drama duka-ria. Namun ia tetap yakin bahwa akan ada hari dimana ia merasakan drama ria itu, sekalipun harus didominasi oleh drama duka, sekalipun hanya berdurasi 1-2 hari. Mungkin saat melihat anak-anaknya bisa mandiri, lulus kuliah, atau kala mendapatkan pasangan hidup. Ya, mereka sangat siap dalam menjalani episode-episode melelahkan sepanjang hidupnya tanpa harus mengeluh. Untuk apa? Untuk bisa melihat hari yang membahagiakan itu. Sebuah kondisi yang benar-benar tergambar di dalam sinetron.
Apakah ada tontonan lain yang bisa mewakili kondisi dari setiap ibu rumah tangga? Saya rasa tidak.
MENGAPA SEPAKBOLA?
Dari sisi seberang, apa yang membuat para pria senang dengan sepakbola? Itu dikarenakan sepakbola adalah olahraga yang kompetitif, sebuah representasi dari jiwa para pria yang memang senang dengan kompetisi. Lantas mengapa harus sepakbola? Padahal ada banyak olahraga lain yang juga memiliki semangat kompetisi yang tak kalah tingginya.
Jawabannya, karena para pelaku industri sepakbola bisa memainkan peran dengan sempurna. Mereka benar-benar mengerti cara dalam menyebarkan paham sepakbola. Sementara itu, pelaku industri olahraga lain seperti bulu tangkis, berkuda, atau ping-pong tidak bisa memerankan lakon tersebut.
Sederhananya, industri sepakbola memonopoli hiburan olahraga di dunia. Belum lagi sepakbola itu diturunkan oleh orang tua, dalam hal ini sang Bapak. Ia memberikan semacam dogma kepada anak-anaknya agar bisa menyukai sepakbola, kalau bisa menyukai tim yang sama pula. Sepakbola juga merupakan olahraga yang mudah untuk diakses, karena hanya butuh bola dan sebidang tanah. Tentu berbeda dengan bulu tangkis, berkuda, atau ping-pong yang membutuhkan berbagai infrastruktur tambahan.
Jadi, selain karena mudah untuk diakses (dinikmati atau dipraktekkan), sepakbola juga memiliki nilai kompetitif yang mewakili jiwa persaingan dari seorang pria. Persaingan dalam merebut hati wanita, persaingan di dunia kerja, atau persaingan dalam hal intelektual sekalipun. Sebuah kondisi yang benar-benar tergambar di dalam sepakbola.
Apakah ada tontonan lain yang bisa mewakili jiwa persaingan dari setiap pria? Saya rasa tidak.
***
Jadi, penikmat sinetron dan sepakbola itu sama saja, baik itu dari dari apa yang memotivasinya hingga reaksi yang mereka tunjukkan. Penikmat sinetron dan sepakbola memiliki alasan yang sama dalam memilih hiburannya: Perwakilan diri. Epilog yang mereka hasilkan juga sama: Mengomentari yang mewakili dirinya tersebut.
Untuk itu, jangan lagi membenci para penikmat sinetron, apalagi jika itu adalah ibu Anda sendiri. Karena sesungguhnya, para penikmat sinetron tidak pernah memiliki masalah dengan kita yang senang dengan sepakbola. Sungguh sebuah ironi, karena golongan adam pecinta sepakbola sangat membenci golongan hawa yang senang dengan sinetron. Jadi, untuk para ibu-ibu, jangan sungkan untuk mengajarkan cara saling menghormati pada golongan kami.
Silahkan nikmati sinetron Anda, dan komentarilah jalan ceritanya sesuka hati Anda, sekeras mungkin, dan jangan lupa tambahkan gerakan tangan itu. Di samping, saya akan duduk tanpa merasa terusik. Bahkan saya siap menemani Anda, karena saya pun melakukan hal yang sama kala menonton sepakbola. Hanya saja, saya baru paham akan hal ini. Sebuah pemahaman yang muncul kala melihat Anda menyaksikan sinetron sambil terkulai lemas berbalut selang infus.
MAMA, cepat sembuh.
Sampaikan Komentar Anda: