Tulisan ini merupakan bagian dari trilogi (rencananya) dari tulisan sebelumnya yang berjudul delusi media sosial.
Catatan: Berbeda dengan trilogi umumnya, trilogi yang saya buat ini mungkin tidak terpancang pada kemunculan gagasan secara berurutan, melainkan lebih kepada penuangan tiga pokok pikiran secara berantakan dalam bentuk tulisan sebagai landasan dalam memandang fenomena yang terjadi di media sosial. Mengapa demikian? Karena ini tulisan saya, ya terserah saya lah… (Red: P-R-E-R-O-G-A-T-I-F)
Evolusi kebencian di media sosial saat ini ada pada fase “Ah, dasar netizen goblok” yang kemudian diterima secara umum oleh generasi progresif. Namun, bagi para konservatif, pengalihbahasaan “Ah, dasar netizen goblok” ini tidak bisa diterima begitu saja. Itu hanya stereotipe, kata mereka. Kita adalah bangsa yang ramah, bangsa yang menjunjung tinggi tata krama, nila-nilai budi pekerti. Bangsa yang senantiasa menyeberangkan nenek-nenek di lampu merah tanpa harus bertanya apakah ia mau menyeberang atau sudah menyeberang.
Mereka menggugat. Bung, demokrasi sedang berlangsung. Vox populi, vox dei.
Untuk merayakan pesta masturbasi argumen yang tengah berlangsung, saya memilih berada di bawah gelanggang sebagai seorang penonton, menikmati dari kasur air sambil menaikkan kaki ke tembok, menghisap tembakau, dan menelan kafein. Saya disajikan berbagai opini untuk dipilih, menjadikan saya sebagai penonton dengan opini tunggal. Dan berikut opini saya:
Kebencian merupakan bagian dari emosi sebagai reaksi terhadap seseorang atau kejadian, dan hanya manusia yang bisa merasakan, menunjukkan, dan menjelaskan hal ini. Jadi, kebencian adalah hal yang umum terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai bentuk reaksi kita terhadap kehidupan itu sendiri. Saat manusia harus hidup bersama dengan orang lain, mereka menyadari bahwa emosi berbentuk kebencian ini adalah hal yang membuat mereka tidak nyaman, membuatnya sepakat bahwa kebencian adalah hal negatif. Mulailah mereka melakukan sentimen hierarkial, menempatkan sesuatu berdasarkan kelas di mana kebencian itu sendiri menempati kasta terendah dalam hierarki emosi.
Sialnya, kita adalah manusia dengan emosi. Mustahil menghindari emosi berbentuk kebencian ini. Nah, karena manusia itu adalah makhluk yang unik, mereka kemudian berusaha untuk menutupi emosi berbentuk kebencian ini agar terhindar dari jurang hierarki emosi terendah. Mereka mulai terobsesi terhadap harmoni. Mereka mulai menyalahgunakan senyum. Memanipulasi gestur tubuh. Menjadikan dunia sebagai panggung sandiwara. Efek sampingnya, identitas sebagai manusia ramah. Ketika ditarik menuju ke kehidupan berbangsa dan bernegara, disebutlah kita sebagai bangsa yang ramah. Padahal, di luar sana, ada banyak sekali kosa kata yang lebih berkolerasi, salah satunya munafik. Tak mengapa, karena ini hanyalah idiom gelas setengah kosong atau setengah penuh.
Menarik, karena dengan kesadaran penuh, manusia menerima eksistensi kata munafik ini. Namun lagi-lagi, sentimen hierarkial manusia-manusia terdahulu juga sudah terlanjur mengelompokkan kata munafik pada kasta terendah dalam klasifikasi penggunaan kata sifat. Pada posisi ini, kata munafik adalah gelas setengah kosong (pesimisme/kelas bawah) dan ramah adalah gelas setengah penuh (optimisme/kelas atas) sehingga wajib digunakan. Dan lagi, obsesi terhadap harmoni, terhadap stabilitas. Di pelosok sana, mulai muncul suara-suara kecil yang anti terhadap sentimen hierarkial yang mengajukan amandemen untuk menghapus penggunaan kata ramah dan munafik agar multi tafsir dari sifat bangsa ini bisa diminimalkan. Mereka mengusulkan penggunaan kata benci/non-benci saja. Namun itu hanyalah riak-riak tak jelas, oleh demokrasi dianggap sebagai anarkisme. Ini Indonesia. Kompromi atas isu yang diperdebatkan adalah hal yang janggal. Intinya, kita bangsa yang ramah.
Boom…! Ketika dunia memasuki revolusi industri 4.0 di mana media sosial mulai menggeser posisi sandang-pangan-papan dalam kelompok kebutuhan primer, manusia mengalami gegar budaya. Mereka yang tumbuh dengan dogma Indonesia sebagai bangsa yang ramah tak berdaya melihat realita media sosial. Kebencian menjadi hal yang lumrah. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini mereka proyeksikan. Mereka tidak percaya bahwa bangsa yang selama ini dikenal santun dan ramah itu ternyata tidaklah demikian. Di pelosok sana, muncul lagi suara untuk memvalidasi kejadian masa lalu bahwa mereka memang bukanlah bangsa yang ramah, mereka hanyalah bangsa yang munafik. Anda saja yang selama ini takluk terhadap pemahaman universal bahwa mereka adalah bangsa yang ramah.
Lalu, mengapa mereka bisa menutupi emosi berbentuk kebencian di kehidupan nyata secara sempurna, namun tidak di kehidupan maya? Mengapa di dunia maya, budaya ramah itu tidak bisa terus dilestarikan layaknya di kehidupan nyata? Atas dasar obsesi terhadap harmoni, mengapa mereka justru menginginkan konflik? Bukankah mereka bersepakat bahwa kompromi lebih baik daripada konflik? Jawabannya, karena kedua kehidupan tersebut memiliki dimensi yang berbeda: Ekspektasi vs Realita.
Dunia nyata didesain untuk menciptakan peradaban berdasar kompromi para penghuninya. Kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sementara dunia maya, dalam hal ini media sosial, didesain untuk menjadi “dunia sendiri” dari sang pemiliknya. Atas nama pribadi maupun anonim. Pada titik ini, kompromi tidak lagi dibutuhkan.
Benturan mulai terjadi saat manusia tersadar bahwa kompromi di dunia nyata yang selama ini mereka lakukan ternyata menimbulkan korban. Dirinya sendiri. Kompromi-kompromi tersebut menghilangkan jati dirinya. Di sisi lain, media sosial yang tidak membutuhkan kompromi berhasil memberi ruang bagi para penggunanya untuk menunjukkan jati diri mereka yang sebenarnya. Namun ada sejumlah manusia yang tidak menyadari hal ini. Manusia-manusia ini kemudian berdarmawisata ke dunia maya dengan bekal kompromi, lalu mendapati dunia yang ia tuju tersebut ternyata tidak membutuhkan kompromi. Muncullah penyimpangan berpikir yang dipengaruhi oleh nilai-nilai data pengukuran destinasi wisata yang tidak akurat. Obsesi terhadap harmoni adalah bias, stabilitas adalah anomali. Sulit untuk menerima hal ini, tentu. Dan kebencian adalah kambing hitam akibat ketidakmampuan memposisikan kata ramah dan munafik di masa lalu. Kebencian adalah leher rahim yang tepat untuk menumpahkan sperma hasil dari ejakulasi ego.
Kebencian di media sosial bukanlah hal yang aneh, karena kebencian hanyalah bentuk dari emosi sebagai reaksi terhadap sesuatu, di mana itu adalah bagian dari diri kita, manusia. Kita tidak bisa menyalahkan bentuk emosi ini. Hanya saja, di dunia nyata kita mengambil resiko untuk menutupi emosi tersebut atas dasar obsesi terhadap harmoni dan stabilitas. Itu adalah bentuk pengendalian diri kita dalam mengekspresikan kebencian. Sementara di media sosial, kita memiliki bentuk pengendalian diri yang berbeda terhadap kebencian dikarenakan media sosial tidak membutuhkan harmoni dan stabilitas. Media sosial hanya membutuhkan Aku, Aku, Aku.
Sampaikan Komentar Anda: