snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Delusi Media Sosial

Delusi Media Sosial

09.03.2019


Media sosial berhasil mendekorasi ruang gemanya sendiri, meyakinkan para penggunanya bahwa mereka layak untuk memiliki pecandu di kehidupan nyata. Namun pada dimensi lain, mereka hanyalah makhluk virtual yang sibuk menyebarkan cinta, respek, dan ketenaran palsu. Sebuah delusi yang menjadi morfin.

Menyebarkan pembaharuan aktifitas di media sosial bukanlah bentuk dari interaksi sosial. Itu hanyalah bentuk komunikasi satu arah, dan percayalah, orang-orang sudah kenyang dengan asupan seperti itu. Raihan komentar, suka, favorit, atau hal serupa hanyalah bentuk lain dari kemunafikan sosial yang keberadaannya kita tolak dan sangkal. Serupa dengan sangkalan bahwa membungkukkan badan saat berpapasan dengan orang lain hanyalah sebatas perilaku untuk menutupi hasrat menumpuk kedudukan sebagai manusia yang ramah. Tujuannya? Investasi. Tak ayal, memberi komentar atau menyukai status seseorang di media sosial hanya sebatas itikad yang menegaskan bahwa kita masih dalam koridor yang “baik-baik saja” dengan orang tersebut. Suatu ketika dihadapkan oleh masalah atau kebutuhan, kita memiliki akses yang mudah ke orang tersebut karena modal “baik-baik saja” yang sebelumnya sudah kita investasikan. Memang hasilnya tidak langsung dinikmati, karena skema ini lebih menyerupai produk tabungan berjangka.

Sebagai manusia, kita tentu sangat senang berpikir bahwa apa yang kita lakukan bisa menciptakan pengaruh di dunia ini, paling tidak di suatu tempat. Kita ingin memercayai bahwa dengan terlibat secara langsung, maka kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun di media sosial, segala sesuatunya berbeda. Sebuah dunia dengan limpahan informasi yang berpotensi menciptakan narsisisme dalam jumlah besar, mengubah kita menjadi selebriti buatan sendiri yang secara otonom menjadi aktor dalam cerita fiksi kita sendiri. Media sosial membuat otak manusia sangat rentan untuk dimanipulasi, terpapar ilusi identitas tunggal sehingga dekat dengan apa yang disebut bias konfirmasi. Pada akhirnya, otak kita hanya akan memercayai apa yang ingin dipercayai.

Internet merupakan jaringan besar yang terdiri dari banyak sub-jaringan lainnya dan terjalin menjadi satu kesatuan sehingga membentuk ekosistem. Media sosial adalah salah satu sub-jaringan dari internet tersebut yang memberi hak yang sama pada penggunanya untuk berbagi peristiwa secara real-time kepada orang lain di mana pun di seluruh dunia. Dari aspek bisnis, ini adalah pola yang sangat menguntungkan karena dengan memanfaatkan sifat manusia yang senang untuk berkomunikasi, maka semakin besar pula potensi untuk mengembangkan budaya konsumerisme kepada para penggunanya.

Tidak ada yang salah dengan itu, karena hanya sebatas ekonomi dasar yang menerapkan hukum dari supply dan demand. Namun dalam proses mencapai tujuan ekonomi tersebut, yakni memenuhi kebutuhan dasar berjejaring bagi semua individu, layanan media sosial justru berdampak terhadap kesehatan mental dengan output episode-episode penuh drama dan delusi akut. Pun mereka yang tidak ada di ranah media sosial, tetap memiliki potensi terpapar. Mereka rentan terhadap efek persepsi pengguna media sosial yang cenderung memegang sebuah keyakinan secara kukuh, meskipun bukti menunjukkan hal tersebut tidak memiliki dasar dalam realitas. Sisanya, kita akan melihat perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial dalam masyarakat itu sendiri. Ketika intensitas berinteraksi secara offline menurun, kadar empati seseorang pun turut tereduksi. Muncullah fenomena mengkotak-kotakkan manusia.

Di media sosial, potensi untuk membodohi diri kita sendiri itu sangatlah besar. Memiliki modal ratusan hingga ribuan “teman” dan “pengikut”, membuat kita aktif untuk mengumpulkan komentar, suka, favorit atau apapun yang serupa. Media sosial juga memberi kekuatan absolut bagi kita untuk menghapus komentar yang kontra, memblokir siapa pun dari lingkaran kita yang terindikasi bisa menjadi kompetitor, dan melakukan banyak hal lain yang bisa melambungkan harga diri kita, sekalipun dalam bentuk delusi hubungan virtual.

Lewat penelusuran bingkai memori masa lalu ketika konsol game pertama kali ditemukan, kita bisa menemui anak-anak yang memasuki dunia delusi mereka sebagai sosok pahlawan yang melakukan sesuatu demi kepentingan umat manusia. Bagi anak-anak perempuan, mereka akan terjebak ke dalam ceruk Cinderella Complex, menjadikan mereka sosok putri cantik yang tengah menanti pangeran tampan berkuda putih menjemput sembari menawarkan piala cintanya yang dibalut bunga-bunga mawar merekah. Dan ketika sudah tiba saatnya mereka mematikan perangkat, dengan segera mereka kembali ke dunia nyata. Menyadari bahwa mereka hanyalah anak-anak yang berinteraksi dengan kotak ajaib bernama TV di dalam ruangan kecil, di sebuah rumah kontrakan, di lingkungan yang ramai dengan ibu-ibu berteriak karena anak-anaknya malas makan. Lihatlah bagaimana sebuah teknologi bisa menciptakan ilusi.

Ketika anak-anak ini sudah tumbuh dewasa, media sosial akan menjadi cara paling umum baginya dalam mentransfer informasi mengenai kehidupan. Dan ketika mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat mengubah dunia dengan “memposting” sesuatu di media sosial, lalu mengetahui bahwa dunia tidak seperti apa yang mereka pikirkan, gelembung perubahan kepribadian mereka yang tengah meningkat akan meledak dan tak bisa terhindarkan lagi, karena kebanggaan palsu memang tidak pernah bisa dipertahankan.

Kebohongan dan manipulasi adalah kewajaran demi orientasi diterima oleh lingkungan. Sebuah “jalan pintas” yang ditempuh pikiran manusia agar mereka yang sedang “bingung” akan eksistensinya bisa tetap dianggap hadir dalam gelembung media sosial. Gaya hidup digital yang bisa membuat manusia merasa istimewa, setidaknya untuk sementara waktu, hanyalah contoh kecil dari “jalan pintas” yang dapat dilakukan orang terhadap diri mereka sendiri untuk lari dari kenyataan bahwa hidup mereka biasa-biasa saja. Sementara bagi mereka yang memilih untuk tidak masuk ke dalam gelembung tersebut, mereka justru menjadi target bagi cyberbullying dan berbagai perilaku predator lainnya. Inilah salah satu pemicu mengapa sindrom KEPO (knowing every particular object) dan FOMO (fear of missing) saat ini lebih tinggi dari kehidupan sebelumnya.

Apa yang menjadi penyebab masalah ini? Apakah kita harus menyalahkan media sosial? Apakah kita harus meminta pertanggungjawaban dari para penggunanya? Saya rasa tidak, karena jawabannya cukup sederhana: Karena kita manusia dan sifat manusia itu individualistik. Sikap delusional kita di media sosial bukanlah kebodohan, apalagi kekurangan, namun itu adalah sifat kita sebagai manusia. Manusia suka jika mereka didengarkan. Manusia senang jika mereka tahu bahwa mereka dapat mengubah sesuatu atau seseorang menjadi makhluk yang lebih baik. Manusia memuja diri mereka sendiri ketika menjadi pusat perhatian. Manusia bahagia ketika pikiran mereka diterima. Manusia suka menjadi istimewa. Kebenaran mengenai manusia sebagai makhluk sosial itu hanyalah simpul partikular yang relevansinya mulai berkurang seiring pergantian zaman. Keyakinan sebagai makhluk sosial atau sosialis hanyalah sebatas manipulasi, padahal kita adalah sosok individualis yang tak sadarkan diri.

Sejak awal penggunaan media sosial, manusia tidak pernah memiliki niat untuk menciptakan dunia ilusi. Mereka menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi yang murah dan efisien. Hanya perspektif manusia itu sendiri yang menerima atau menolak ilusi tersebut sehingga membentuk kita seperti saat ini. Ya, sebatas efek samping dari overdosis digital.

Pada akhirnya, tidak peduli bagaimana kita memandang media sosial, hal itu tidak akan menghentikan penggunaannya. Satu hal yang pasti, semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk berjejaring sosial, maka semakin banyak pula waktu yang kita habiskan untuk sendirian. Sebuah antitesis dari ajaran mendasar tentang manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Tak masalah, karena kini kita memang sedang bertransformasi menjadi makhluk individualistik.

Kategori: Life

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. ranconan :

    27/03/2019 pada 12:15 pm

    Saya suka gaya penulisannya. Sederhana tapi ngena. Terima kasih sudah sedikit memberikan saya gambaran tentang sosial media

    Reply

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·