snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Rockumentary / Cover Story: …Dan Metallica Kembali untuk Indonesia

Cover Story: …Dan Metallica Kembali untuk Indonesia

01.10.2013

Masih membekas jelas di ingatan Adjie ketika ia bersama 25 teman-teman sekomunitasnya di Solo bergerak menuju ibu kota dengan sebuah bus dan mini-van untuk “bersembahyang berjamaah,” memberikan penghormatan kepada junjungan metal terbesar di dunia yang ikut mengubah hidupnya dan menjadi salah satu alasan terbesar komunitas mereka menancapkan panji-panji metal di Jawa Tengah.

Sehari menuju berangkat ke Jakarta, dua bendera Merah Putih dengan khilafnya mereka sablon logo Metallica dan dituliskan “Solo – Indonesia” sebagai identitas daerah asal kebanggaan mereka di Senayan nantinya.

Hanya beberapa hari sebelumnya ia ditelepon oleh Arian13, vokalis Seringai yang membuka konser Metallica, dan ditawarkan untuk ikut menyanyikan hit terbesar Motorhead, “Ace of Spades”, di atas panggung raksasa tersebut bersama bandnya dan Stevie Item, gitaris Deadsquad dan Andra and the Backbone.

“Walau tidak hafal lagu tersebut, hanya chorus-nya, tapi saya dengan gembira mene-rima tawaran tersebut, tanpa pikir panjang lagi. Sudah gila kalau masih mikir lagi sih,” ujarnya antusias seraya tertawa.

Mundur kembali ke hari besar, 25 Agustus 2013. Di belakang panggung raksasa Metallica pada petang itu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, raut wajah Arian, gitaris Ricky Siahaan, drummer Eddy Khemod, bassist Sammy Bramantyo dan para musisi tamu; gitaris Burgerkill Eben, Stevie Item dan Stephanus Adjie tampak gugup berat.

Padahal semua musisi ini jam terbang manggungnya cukup tinggi dan tak perlu dipertanyakan lagi, namun tetap saja ada yang muntah-muntah, gelisah, cemas, berkeringat dingin hingga termenung seperti hendak berjalan menuju tiang gantungan.

“Mungkin dipikirnya kami mengajak mereka manggung di konser Metallica karena brotherhood, padahal ingin berbagi tekanan,” ujar Arian seraya tertawa di depan tenda dressing room mereka.

Sepertinya saat itu tiada ujian hidup yang lebih berat lagi selain menjadi band pembuka Metallica. Mesti berhadapan dengan puluhan ribu anak metal gahar dari seluruh Indonesia yang sudah lebih dari 20 tahun lalu ereksi menunggu datangnya band idola mereka.

Ditambah lagi pihak promotor pada saat konferensi pers sempat menjawab pertanyaan saya bahwa konser Metallica kali ini tidak akan menampilkan band pembuka apapun. Jika melihat sejarahnya, memang hampir tidak ada band-band cadas lokal yang sukses membuka konser band internasional bernama besar di Tanah Air. Entah karena bandnya tidak siap, terlalu grogi atau sistem tata suara yang buruk, sehingga terkesan akan lebih baik penonton langsung saja disajikan menu utama dan hindari menu hidangan pembuka.

Selain itu tekanan yang dihadapi Seringai setelah diumumkan menjadi band pembuka semakin besar karena di berbagai media sosial seperti Twitter dan Facebook banyak beredar kecaman, tudingan miring dan sinis yang ditujukan kepada Seringai.

Tuduhan terparah adalah saat mereka dianggap menyogok sekian banyak uang agar terpilih menjadi band pembuka Metallica. Sang penuduh sepertinya lupa kalau pihak promotor sangat kaya raya. Bayangkan, honor Metallica senilai 1,250 juta dollar AS saja sanggup mereka bayar, lunas!

Pendeknya, semua pihak yang berkomentar negatif mungkin hanya iri kepada Seringai, karena ditunjuk menjadi band pembuka Metallica itu sama artinya dengan menerima neraka dan surga sekaligus dalam satu genggaman. Mengapa neraka sudah saya jelaskan tersirat sebelumnya.

Apabila surga bagai momen ejakulasi di setiap mimpi basah pria, maka membuka konser Metallica mungkin mimpi basah utama bagi banyak band cadas di muka bumi ini, salah satu puncak kenikmatan karier bermusik!

Tentunya untuk mendekati surga, seperti ajaran semua agama, tidak semudah yang kita kira, salah satunya harus berbuat baik terhadap sesama. Tapi bagaimana cara terbaik menebar kebaikan kepada 60 ribumetalhead ganas yang kadung ereksi sejak lama menunggu Metallica? Semua orang pun mencoba mengeluarkan jurus terbaiknya: Bercanda.

Simulasi menghindari timpukan misil berupa botol minuman para penonton pun dilakukan satu persatu oleh para personel Seringai di belakang panggung, seakan bersiap sedia untuk menghadapi adegan yang sebenarnya beberapa saat kemudian. Ber-bagai candaan untuk menenangkan hati pun telah terlontarkan. “Anggap saja kita sedang manggung di depan ribuan monyet,” celetuk Eben yang disambut gelak tawa yang lainnya.

Agar hati tenang, Arian mencoba meyakinkan diri bahwa candaan Eben adalah benar. Namun ketika mendengar gemuruh cemoohan bergema bersamaan saat para kru Seringai mulai mempersiapkan instrumen di atas panggung, sekejap pula semua kecemasan dan kegugupan itu menyengat mereka kembali, kicep berbarengan.

Satu-satunya “penghuni surga” yang tampak sangat tenang luar biasa dan anggun memesona saat itu hanya penyanyi Raisa yang mengenakan kaus hitam Seringai dan bercelana panjang jeans. Padahal tugasnya petang itu terbilang paling berat di antara yang lainnya. Menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” tanpa iringan band atau musik, hanya dirinya, mikrofon dan suaranya, disaksikan 60 ribu pasang mata.

Boim, manajer Raisa, mengingatkan saya bahwa artisnya sempat mengalami kegagalan tahun lalu ketika menyanyikan lagu yang sama di konser Stevie Wonder di Java Jazz. Ia tak ingin hal yang sama terulang lagi, apalagi kini di depan massa penonton yang jauh lebih banyak.

Ketika menunggu di samping panggung beberapa menit sebelum tampil, para personel Seringai sempat digoda oleh Tom Mayhue, production manager Guns N’ Roses yang merilis reality show King of the Roadiesdan direkrut menjadi konsultan produksi konser Metallica di Asia Tenggara.

“OK, guys, give ‘em hell or give us a good laugh,” ujarnya sembari menyeringai, seperti sudah terbiasa mengolok-olok mental para band-band pembuka di konser lainnya. Semua orang yang mendengar hanya tersenyum kecut mendengar celetukan Tom tersebut.

Jantung saya pun ikut berdegup keras saat menyaksikan pemandangan di depan panggung yang belum pernah saya saksikan langsung sebelumnya seumur hidup. Puluhan ribu metalhead yang ganas mulai berteriak-teriak tak sabar, terus memanggil nama Metallica, populasinya terbentang luas menghampar dari kelas festival hingga tribun Stadion GBK yang berkapasitas 88 ribu tersebut.

“Edan, Seringai dapat ditelan hidup-hi-dup, lumat tak tersisa nih,” begitu pikir saya saat menyaksikan kerumunan yang kolosal tersebut.

Ketika akhirnya Tom mempersilakan announcer untuk memanggil nama Seringai, satu persatu para personel pun keluar dari samping panggung, dan sepertinya Tuhan bekerja dengan misteriusnya di momen kritis itu. Di luar dugaan, Seringai justru di-sambut meriahnya tepuk tangan dan teriakan mengelu-elukan yang membahana dari seisi stadion. Apa yang sebelumnya mereka takuti ternyata hanya ilusi.

“Gue sebenarnya sudah sangat siap untuk yang terburuk sekalipun waktu itu. Apapun yang terjadi gue tahu hidup gue tidak akan sama lagi setelah ini, tapi anehnya begitu kaki melangkah keluar dan mendengar res-pons penonton, ‘Lho, kok begini?’” kenang gitaris Ricky Siahaan terharu.

Dan seperti kita tahu cerita selanjutnya, the rest is history.

Usai manggung, anggota Seringai dan seluruh musisi tamu, termasuk Adjie, dibawa ke belakang panggung untuk bertemu para personel Metallica sebelum mereka tampil. Saat itu Adjie mengaku hanya bisa melongo dan tertegun, tak dapat berbicara apa-apa, semua masih terlalu sureal baginya.

“Saya hanya jawab sedikit saat Papa Het tanya kaus apa yang sedang saya pakai. ‘My rock shop Belukar’ dan Papa Het menjawab ‘Yeah, cool.’ Selebihnya bibir kaku dan lidah ngilu. Maklum, ketemu para dewa, ” ujarnya seraya tertawa.

Adjie mengaku dikenalkan dengan Metallica oleh kakak sepupunya sewaktu ia masih kelas 1 SMP di Yogyakarta sekitar 1990. Ketika SD ia mendengarkan New Kids On The Block dan dicemooh oleh kakaknya tersebut.

“’Musik banci nih. Harusnya dengar Judas Priest, Bon Jovi dan sebagainya. Terus dikasih dengar kaset Master of Puppets, saya langsung bengong. Apaan nih? Katanya, ‘Ini baru musik laki-laki,’” kenangnya seraya menjelaskan kalau ia sempat pula bolos ujian pra-Ebta semasa SMP hanya untuk menyaksikan konser Metallica yang pertama.

“Harusnya tiket kami hari pertama tapi gagal masuk, jadinya hari kedua,” kenangnya lagi.

Selang beberapa waktu kemudian, di belakang panggung pula, berbeda sisi dengan Seringai tadi, para personel Metallica tampak bersiap-siap untuk manggung ketiga kalinya di Jakarta setelah 10 – 11 April 1993, atau tepat 20 tahun 138 hari yang silam.

Chad Zaemisch, teknisi gitar James Hetfield, yang berdiri di samping Papa Het tampak mengangkat-angkat gitar majikannya dengan gerakan menyerupai salib bagai seorang umat Katolik yang tengah berdoa. Mendadak terdengar gemuruh ribuan penonton dan sebuah bunyi ledakan menggelegar diikuti padamnya seluruh lampu Stadion GBK .

“What happened? And always, always happened…” ujar James Hetfield berlagak kaget seraya berteriak melakukan pemanasan pada vokalnya.

Sesaat kemudian intro yang digunakan Metallica sejak 1983 (“Ecstasy of Gold” milik Ennio Morricone) pun berkumandang disertai cuplikan adegan final film The Good, The Bad and The Ugly yang dibintangi Clint Eastwood di seluruh layar LED.

Koor massal puluhan ribu penonton Jakarta yang terdengar bergema ke seluruh penjuru stadion sungguh luar biasa; mengharu biru, megah dan kolosal, bagai konvoi ribuan pasukan tengah menuju ke medan perang.

Rob, Lars dan Hammett akhirnya bergabung dalam lingkaran, sementara para kru sibuk menancapkan wirelessdi belakang pinggang masing-masing personel. Lars beberapa kali tampak mencoba meyakinkan diri bahwa ia sama sekali tidak merasa deg-degan sementara Rob sempat panik karena wireless yang dipasang ternyata tidak bekerja.

James pun merangkul pundak kawan-kawannya seperti hendak mengajak berdoa….

“Hey guys, it’s been an awesome tour, man, awesome legs. We’ve kicked a lot of asses, we’ve done really well, man. We’ve stepped up, we’ve done what we can, done our best every night. I love the way we end on a big note like this, I love you, guys. We kick ass,” ujar James Hetfield lantang yang segera disambut teriakan “Yeaahh” dari kawan-kawan baiknya sejak awal dekade 1980-an tersebut (kecuali Trujillo yang baru bergabung pada awal 2003).

Chad pun mengalungkan gitar ESP putih dan memberikan pick gitar kepada Papa Het yang masih terus melakukan vocalizing dengan “Ecstasy of Gold” sembari menjajal bunyi gitarnya. Ritual fist bump yang mengharukan antara kru dengan personel terjadi di sini, sayup-sayup terdengar Chad meneriakan kalimat-kalimat penyemangat kepada James sembari menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

Lars keluar terlebih dulu dari balik panggung menuju drum set, diikuti James, Kirk dan Trujillo. Jangan tanya lagi situasi GBK saat itu, all hell broke loose saat nomor pembuka yang dimainkan adalah lagu pertama yang diciptakan oleh Metallica, “Hit The Lights” dari album Kill ‘Em All. 

“No life till leather/We’re gonna kick some ass tonight!/We got the metal madness/When our fans start screaming it’s right…well alright, yeah!/When we start to rock we never…want to stop again!/Hit the lights!”

Untuk kisah selengkapnya baca majalah Rolling Stone Indonesia edisi 102, Oktober 2013.

Kategori: Rockumentary Tag: Metallica

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·