snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Surat Cinta Untuk Moralis Kapan Nikah

Surat Cinta Untuk Moralis Kapan Nikah

03.08.2016

Sebut saya sensitif, insecure, tendensius, introvert, konservatif, atau apapun itu…


Indonesia, Negara kepulauan yang mengantongi tingkat kepo (knowing every particular object) tertinggi di dunia. Dalam konteks yang lebih kecil (suku), terdapat skala ke-kepo-an yang bervariatif, namun Anda pasti setuju jika saya menempatkan suku Bugis-Makassar pada jajaran teratas. Topik ke-kepo-an ini juga sangat berlimpah, namun perihal nikah sepertinya selalu memuncaki daftar top ten setiap tahunnya.

Komponen yang menarik adalah, saya terlahir dari keluarga Bugis, dan kata mereka usia saya sudah memasuki fase kritis untuk sebuah pernikahan. Entah siapa aktor dibalik standarisasi demikian, namun saya tampung saja mengingat ke-kepo-an mereka masih saya tafsirkan sebagai aksi komikal semata. Namun ketika mortir-mortir kepo tersebut dilontarkan secara sporadis, maka bertunaslah rasa tidak nyaman itu. Ya, saya sudah merasa tidak nyaman dengan pertanyaan “kapan nikah?”.

Entah mengapa, individu yang belum menikah itu bisa berubah menjadi sebuah potret kekalahan. Tanpa mengindahkan pencapaian dalam hidupnya, ia dikotak-kotakkan. Minoritas, itulah sebutan untuk mereka kala terjebak dalam interaksi sosial yang didominasi oleh persona-persona yang sudah menikah. Sementara di pihak mayoritas (sudah menikah), dengan angkuhnya akan mengaktifkan semacam “wild card” yang memang didesain untuk merongrong psikologi dan emosional si minoritas tersebut.

Berasaskan sebuah legitimasi, mereka mengartikulasikan hal tersebut sebagai sebuah bentuk kepedulian. Mungkin mereka benar. Namun haruskah kepedulian mereka dikonversi dalam bentuk pertanyaan seperti itu? Sebuah peluru yang berbalut bulu domba. Sementara jika pertanyaan tersebut disalurkan sebagai sebuah bentuk basa-basi, saya rasa mereka kurang kreatif.

Anda mungkin mengerutkan kening sambil menaksir saya sebagai pria yang terlalu sensitif, namun faktanya, sensitifitas sudah menjadi bagian yang dimiliki oleh setiap manusia. Anda mungkin akan mengatakan bahwa hal seperti itu tidak perlu diambil hati. Mungkin Anda benar. Namun bagaimanapun juga, hal tersebut sudah mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia memang sangat kepo. Tak heran jika acara infotainment sudah disiarkan TV swasta sejak pagi-pagi buta. Tak ganjil jika janji suci Raffi dan Nagita sudah menjadi semacam zat aditif.

Dalam balutan pertanyaan, kepedulian dan ke-kepo-an itu berbeda. Peduli adalah saat Anda bertanya dengan penuh simpati. Sementara kepo, merupakan bentuk lain dari “kepedulian” yang lazimnya dibumbui oleh canda tawa dan sengaja dilemparkan setiap kali bertemu. Sederhananya, kepedulian dan ke-kepo-an itu sama-sama mengurusi hidup orang lain, namun motivasinya berbeda.

Anda bisa saja menyebut saya sebagai seorang yang introvert. Tapi faktanya, saya memang tidak senang untuk mengurusi hidup orang lain. Itulah asas mengapa saya tidak begitu adiksi terhadap jejaring sosial (kecuali dalam konteks bisnis). Lagi, sebut saya konservatif. Namun faktanya, saya memang merasa tidak membutuhkan informasi mengenai mereka yang sedang makan, liburan, patah hati, terjebak macet, atau apapun itu. Di sisi lain, informasi semacam itu terbukti tidak berdampak negatif ketika saya eliminasi.

Saya tidak senang mengurusi kehidupan orang yang tidak berkepentingan dengan saya. Terlebih jika saya memang tidak berada pada kedudukan partikular di mana saya harus mengikutsertakan orang tersebut ke dalam kerangka aktivitas yang sedang saya jalani waktu itu. Tak berdaya guna. Buang-buang waktu.

Namun betapa giatnya mereka membenahi hidup saya. Padahal, prioritas hidup mereka tentu berbeda dengan prioritas hidup saya. Hal ini termasuk dalam urusan pernikahan yang mana bersifat personal. Ranah privat. Prerogratif. Artinya, kurang etis jika elemen-elemen pernikahan itu dilemparkan pada seseorang, apalagi jika sudah berulang kali dan cenderung sarkas. Saya pun selalu berusaha untuk meminimalisir pertanyaan kapan menikah itu kepada orang-orang sekitar, sekalipun saya akui cukup sulit karena saya berada di lingkungan sosial yang menganggap hal seperti ini sudah lumrah.

Rasa tidak nyaman yang saya tampakkan ini bukan berarti bahwa saya tidak ingin menikah, terlalu munafik rasanya jika demikian. Hanya saja, masih banyak hal-hal yang ingin saya lakukan di mana menikah itu masih berada di urutan kesekian. Masih ada selusin hal-hal keren (menurut saya) yang harus saya rengkuh sebelum akhirnya mengucapkan ikrar yang akan dimuat di dalam catatan sipil itu. Termasuk dalam urusan ekonomi.

Biasanya, pertanyaan kapan menikah dari mereka saya sambut secara statistik ekonomi makro dan mikro, alasan pribadi menyusul setelahnya. Namun lucunya, ketika saya memberikan analisa ekonomi untuk menjelaskan mengapa saya belum mau menikah, mereka justru memberikan jawaban yang sangat-sangat kadaluarsa: “Ada tonji nanti rejekinu itu kalo sudah menikah…” Jenius!

Padahal, perencanaan pernikahan itu menyangkut berbagai aspek, tidak hanya mengenai biaya prosesi pernikahan saja. Bagi saya, kepastian ekonomi setelah pernikahan berlangsung adalah bagian yang paling utama. Nah, untuk bisa memenuhi hal tersebut, saya masih membutuhkan waktu untuk menabung. Belum lagi jika saya memasukkan faktor inflasi yang tentu saja bisa mengubah anggaran yang sudah tersusun rapi.

Setelah menikah, kebutuhan sandang, pangan, dan papan itu akan berlipat. Semakin menjadi menilik gaya hidup masyarakat Bugis yang sudah terbiasa menukar posisi kebutuhan primer dan sekunder. Status sosial. Jujur, berat rasanya untuk membayangkan perjuangan menabung selama bertahun-tahun itu dikompensasi lewat visualisasi di atas pelaminan yang durasinya hanya berkisar 150 menit saja.

Ketika saya memberikan penjelasan seperti itu, mereka langsung mengeluarkan respon mainstream yang cenderung dangkal: Perihal umur. Seperti yang saya bahas di awal, apa hak mereka untuk menciptakan standarisasi usia menikah terhadap orang lain?

Sebagai informasi, usia menikah minimal di Indonesia adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Hal tersebut sudah diatur dalam UU Perkawinan 1974. Namun menariknya, hal tersebut masih diperdebatkan secara hukum dan sudah masuk ranah Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, ada usulan untuk menaikkan batas minimal menikah itu menjadi 18 atau 21 tahun untuk wanita, sementara 25 tahun untuk pria. Jika hal tersebut memang terjadi, sudah tentu struktur UU Perkawinan 1974 akan berubah.

Dengan melihat aspek legalitas di atas, sebenarnya berapa usia minimal seseorang untuk menikah? Bahkan usia minimal pernikahan yang sudah diatur di dalam UU pernikahan saja masih diperdebatkan hingga tingkat judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dalam artian lain, alasan mereka untuk memaksa saya menikah dengan rujukan usia itu sudah berkurang bobot relevansinya.

Anehnya, ketika saya memberikan jawaban-jawaban seperti di atas, maka tendensius akan menjadi kancing yang disematkan di baju saya. Menggemaskan, karena hal tersebut justru membuat mereka terlihat menjadikan pertanyaan kapan menikah itu sebagai sesuatu yang ringan. Mereka sudah mengkontradiksi rasa “pedulinya” itu. Sementara bagi saya, itu adalah pertanyaan yang sangat dalam. Bagaimanapun juga, pernikahan memiliki porsi 2/3 dari aspek kehidupan jika tolak ukurnya adalah umur rata-rata manusia. Jadi, wajar jika saya serius.

Sikap menggemaskan mereka menjadi sebuah penegasan bahwa rasa pedulinya itu memang sekedar selimut yang bertugas untuk mencegah terpendarnya warna kepo dari kulit mereka.

***

Apa yang Anda tahu mengenai dirinya tidaklah selalu sesuai dengan apa yang ia alami. Apa yang Anda lihat mengenai dirinya, tidaklah selalu sesuai dengan apa yang sedang ia perjuangkan. Jadi, Anda tidak perlu bersusah payah untuk menjadi seorang pahlawan, seorang moralis yang merasa bisa mengatur kehidupan seseorang.

…dan lagi, sebut saya sensitif, insecure, tendensius, introvert, konservatif, terserah Anda. Lagipula, jika pada akhirnya saya menikah, Anda berani isi amplop berapa?

Kategori: Life Tag: Nikah

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. Kucing Genit :

    16/08/2016 pada 8:46 pm

    Ah, tailah yan…
    Seperti yg dulu lo bilang, “life sucks!”

    Reply
  2. back2black :

    17/08/2016 pada 7:54 am

    mantab!

    Reply
  3. Amma :

    20/08/2017 pada 6:05 pm

    sy sependapat sama kamu, sebelum nikah semuanya harus matang. But, bagaimana bisa terealisasi klo habis bulan habis duit. Bukan mau mengajari tapi sekedar berbagi pengalaman. Klo sy sih tiap bulan harus menyisihkan tabungan. Umpannya gaji 100%, 40% harus di tabung tidak bisa di ganggu gugat apapun itu, 30 % buat bayar cicilan yg bermanfaat ( bukan cicilan Fashion bermerek tas, sepatu & sendal) tapi buat isi rumah yg nantinya di tempati setelah menikah, 20% buat makan / minum / skali2 traktir keluarga mkn di luar, 10 % biaya tak terduga, nach klo sampai bulan berikutnya yg 10% tdk terpakai baiknya di masukkan ke tabungan yg 40%. Setelah semuanya terealisasi baru siap untuk menikah, tdk peduli orng mau bicara soal umur. Kan yg rasa & jalani setelah menikah qt, bukan mereka yg dengan gampang menyuruh qt buru2 nikah karna faktor umur.

    Reply

Leave a Reply to Amma Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·