Fiksi.
Mungkin Anda salah satu orang yang belum terbiasa dengan istilah softex-able. Namun tahukah Anda, softex-able merupakan fenomena yang sering kita lakukan dalam keseharian. Softex-able merupakan bagian dari kita, masyarakat Indonesia.
Softex-able adalah kondisi di mana sebuah subjek secara turun-temurun melakukan generalisasi terhadap sebuah objek berdasarkan objek sejenis yang sudah populer terlebih dahulu.
Pengaplikasian yang umum bisa Anda temukan misalnya pada air mineral dalam kemasan. Di negara ini, Aqua merupakan merek air mineral dalam kemasan yang paling pertama meraih kepopuleran. Setelahnya, segala produk sejenis disebut sebagai Aqua. Hal seperti ini berlaku pula pada indomi (mi instant), odol (pasta gigi), aiped (komputer tablet), tip-eks (correction type), sopteks/softex (pembalut), dan sejenisnya.
Adapun penunjukan softex untuk mewakili hal tersebut dikarenakan susunan hurufnya yang terkesan catchy dan bisa mewakili semangat emansipasi, sebuah gerakan yang marak pada awal munculnya fenomena itu sendiri. Berdasarkan hasil musyawarah dari beberapa organisasi kepemudaan kala itu, disepakatilah bahwa softex-able merupakan istilah yang tepat dalam menggambarkan kondisi seperti di atas.
Menyusul setelahnya, softex-listic disematkan pada mereka yang bisa menerapkan softex-able ke dalam kehidupan sosialnya. Jadi, tak heran rasanya jika para cendekiawan memasukkan softex-able sebagai bagian dari pop culture. Bagian yang juga sudah menyertai pergantian rezim di negara kita.
Namun pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, tak kunjung mengakui keberadaan softex-able. Bahkan mereka terkesan menutup mata akan hal ini. Berbumbu retorika klasik, mereka sukses menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang berbau softex-able. Hal ini pula yang membuat generasi penggemar teori konspirasi kesulitan dalam mempelajari arsip sejarah softex-able. Padahal, dengan mengenal softex-able lebih dekat, maka rasa cinta dan bangga tanah air itu niscaya akan bergelora kembali.
Pemerintah berkilah bahwa dasar-dasar negara kita tidak bisa menerima pemahaman semacam ini. Segala upaya mereka ciptakan agar bisa menutup akses tersebut, termasuk dengan tak mengindahkan hasil uji kelayakan dari komisi X DPR RI yang merekomendasikan softex-able agar dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar. Bukan hanya itu, pihak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga sempat mendapatkan kecaman lantaran ingin memasukkan softex-able ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Akhirnya, Balai Pustaka yang diberi kuasa untuk menerbitkan KBBI sempat terancam berhenti beroperasi.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan model birokrasi kita yang memang lemah dan memiliki banyak ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk ikut campur tangan. Sejumlah ormas dikabarkan memiliki andil yang cukup besar sehingga softex-able tak kunjung mendapat lampu hijau dari pemerintah. Bahkan ada rumor yang menyebutkan bahwa ormas-ormas keagamaan adalah yang paling vokal dalam menyuarakan penolakan terhadap softex-able.
Softex-able mereka anggap sebagai sesuatu yang mencerminkan budaya barat dan bertolak belakang dengan nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia. Softex-able dianggap sebagai sesuatu yang kental akan kapitalisme dan merupakan penjelmaan baru dari komunisme. Hal yang tentu saja terlalu mengada-ada. Bagaimanapun juga, dibutuhkan pembuktian terbalik yang akan melibatkan berbagai instrumen sosial-politik agar bisa membenarkan tuduhan tersebut.
Untuk itu, melalui tulisan ini saya mengajak semua pihak yang terlibat agar mau duduk bersama dan menanggalkan egoismenya. Dengan semangat musyawarah mufakat, marilah kita menyatukan tujuan mulia itu. Tujuan untuk memasyarakatkan kembali softex-able. Jika alasan kepentingan edukasi sudah tak layak dijadikan pondasi dari paham softex-able, maka gunakanlah alasan untuk menghargai dan melestarikan warisan dari pemuda-pemuda orde lama.
Lagipula, suduh cukup lama kami menunggu. Setiap tahun kami awali dengan harapan yang sama. Namun harapan itu sepertinya semakin tergerus dengan media yang belakangan ini lebih memihak pada sosialisasi prostitusi artis. Percayalah, prostitusi artis mengandung lebih banyak mudharat dibanding maslahat-nya. Percayalah, dengan mempopulerkan softex-able di media, maka masyarakat akan lebih bijak dalam menyikapi generalisasi objek tersebut. Generalisasi yang sebenarnya sudah mereka alami dari beberapa dekade yang lalu, namun bingung dalam menyikapinya.
Jika hal ini memang bisa terealisasikan, maka dalam waktu dekat mereka tak lagi memiliki keraguan saat anaknya yang sedang tumbuh menjadi remaja itu meminta rekomendasi jenis pembalut apa yang terbaik di pasaran. Alhasil, makna kehidupan itu pun terasa semakin berarti. Orang tua merasa sangat bertanggung jawab pada anaknya, sedangkan sang anak merasa dihargai. Simbiosis mutualisme.
Jadi, untuk Anda yang sedang menikmati pucuk pimpinan, kapan kami akan memperoleh kejelasan akan softex-able itu? Apakah harus menunggu hingga negara tetangga mengklaimnya? Setelah terjadi, Anda baru tersadar dan segera mendeklarasikan perang? Alur yang mudah ditebak.
Tapi setidaknya, Anda sudah diperingatkan!
Dirangkai dalam pengaruh fermentasi beras ketan yang berkorelasi dengan penemuan bungkus pembalut di tempat sampah.
Sampaikan Komentar Anda: