Manusia dikenal sebagai makhluk berpikir, tetapi sering kali mereka lebih mengutamakan rasa dibandingkan rasionalitas dalam pengambilan keputusan. Meskipun rasionalitas menawarkan pendekatan yang logis dan objektif, kenyataannya manusia lebih cenderung mengikuti emosi, intuisi, dan pengalaman pribadi.
Secara evolusi, manusia tidak dirancang untuk selalu berpikir rasional. Nenek moyang kita bertahan hidup bukan hanya karena kemampuan berpikir logis, tetapi juga karena insting dan emosi yang membantu mereka mengambil keputusan cepat dalam situasi berbahaya. Rasa takut, misalnya, memungkinkan manusia menghindari bahaya sebelum mereka sempat menganalisis situasinya secara logis.
Penelitian dalam bidang neurologi menunjukkan bahwa emosi sering kali muncul lebih cepat dibandingkan pemikiran rasional. Bagian otak yang bertanggung jawab atas emosi, yaitu sistem limbik, bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan dibandingkan korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional.
Ada sebuah penelitian bertajuk “Damage to Ventromedial Prefrontal Cortex Impairs Judgment of Harmful Intent” yang dilakukan oleh Antonio Damasio, seorang ahli saraf yang mempelajari pasien dengan kerusakan pada korteks prefrontal ventromedial. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien-pasien ini mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan meskipun kemampuan kognitif mereka tetap utuh. Tanpa keterlibatan emosi, mereka tidak dapat menimbang pilihan dengan efektif, yang menunjukkan bahwa emosi memiliki peran penting dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, hasil studi dari “How Do the Amygdala Gland and Prefrontal Cortex Interact?” yang menggunakan teknik pemindaian otak (fMRI) menunjukkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada keputusan emosional, amigdala—bagian otak yang berperan dalam respons emosi—lebih aktif dibandingkan korteks prefrontal. Ini menunjukkan bahwa manusia sering kali bereaksi secara emosional sebelum mempertimbangkan aspek rasional.
Manusia menggunakan berbagai bias kognitif dan heuristik (jalan pintas mental) dalam kehidupan sehari-hari. Bias ini membantu mempermudah pengambilan keputusan tetapi sering kali mengorbankan rasionalitas. Misalnya, bias konfirmasi membuat seseorang lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya daripada mengevaluasi fakta secara objektif. Begitu pula dengan heuristik afektif, di mana manusia lebih mengandalkan perasaan daripada analisis logis saat menilai sesuatu.
Lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran besar dalam cara manusia berpikir dan mengambil keputusan. Banyak keputusan didasarkan pada norma sosial, tekanan kelompok, dan ekspektasi masyarakat daripada pertimbangan logis yang obyektif. Misalnya, seseorang mungkin memilih jalur karier tertentu bukan karena itu yang paling rasional, tetapi karena tekanan keluarga atau norma sosial yang mengarahkannya ke sana.
Berpikir secara rasional membutuhkan usaha kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan mengikuti perasaan. Dalam kehidupan sehari-hari, otak manusia sering kali memilih jalur yang lebih mudah, yaitu mengikuti intuisi dan emosi. Inilah mengapa banyak orang lebih suka mengikuti naluri atau kebiasaan lama daripada menganalisis semua kemungkinan dengan logis.
Keputusan yang didasarkan pada rasa sering kali memberikan kepuasan instan, sementara keputusan rasional mungkin memerlukan pengorbanan jangka pendek hingga panjang untuk hasil yang lebih baik di masa depan. Inilah alasan mengapa banyak orang lebih memilih kesenangan sesaat daripada manfaat jangka panjang, misalnya dalam kebiasaan belanja impulsif atau pola makan yang tidak sehat.
***
Jujur, saya adalah seseorang yang sering terjebak dalam penggunaan perasaan pada hampir setiap keputusan yang telah saya buat. Saya pernah membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup hanya karena emosi sesaat—kadang karena ketakutan, kadang karena terlalu terikat dengan kenangan atau harapan yang sebenarnya tidak realistis.
Misalnya, saya pernah mempertahankan hubungan yang sudah jelas tidak sehat hanya karena saya merasa terlalu takut untuk kehilangan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahan saya, meskipun logika saya berteriak bahwa itu bukan keputusan yang baik. Saya juga pernah mengambil keputusan finansial buruk karena lebih mengutamakan kenyamanan daripada berpikir jauh ke depan.
Namun, setelah saya mulai mendalami penelitian tentang bagaimana otak bekerja (terima kasih pada dr. Ryu Hasan atas segala referensinya), saya menyadari betapa mudahnya saya terjebak dalam pola pikir emosional. Saya belajar bahwa ada saatnya kita harus menahan diri dan memberi ruang bagi rasionalitas untuk berbicara. Tidak mudah, tentu saja. Ada momen-momen di mana saya ingin langsung bereaksi secara emosional, tetapi saya berusaha melatih diri untuk mengambil jeda, bernapas, dan bertanya: Apakah ini keputusan terbaik dalam jangka panjang?
Sekarang, saya mencoba untuk lebih sadar dalam mengevaluasi setiap keputusan dengan pendekatan yang lebih logis. Saya melatih diri untuk tidak langsung bereaksi terhadap suatu situasi secara emosional, tetapi memberi waktu bagi otak saya untuk memproses informasi secara rasional. Ini bukan proses yang mudah, tetapi saya yakin bahwa dengan latihan dan kesadaran, saya dapat lebih mengutamakan rasionalitas dibandingkan hanya mengikuti perasaan sesaat.
Dan ya… Rasionalitas ternyata memerlukan usaha lebih besar, sedangkan rasa memberikan kepuasan instan. Saya sendiri telah mengalami bagaimana keputusan emosional dapat mengarahkan saya ke jalan yang salah, dan bagaimana rasionalitas bisa membantu saya menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
Pada akhirnya, mungkin keseimbangan adalah kuncinya. Tidak ada salahnya mendengarkan perasaan, tetapi rasionalitas juga harus memiliki peran dalam setiap keputusan yang kita buat. Dengan menyadari bagaimana otak kita bekerja, kita bisa lebih bijak dalam menavigasi hidup ini tanpa terjebak dalam emosi yang sesaat.
Sampaikan Komentar Anda: