snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Rockumentary / Racun Itu (Dulunya) Bernama Poison

Racun Itu (Dulunya) Bernama Poison

05.06.2013

poison

Poison, salah satu band glam rock “kotor” yang sukses mengenalkan saya pada hal-hal kotor kala seragam SMP itu masih terbalut di tubuh. Bandana dan semprot rambut, sebuah kombinasi yang ketika saya mengingatnya kembali, tak jarang membuat perut ini mulas. “Unskinny Bop”, “I Want Action”, dan “Let It Play” hanyalah sedikit dari banyak lagu yang membuat saya belajar durhaka kepada orang tua waktu itu. Contohnya album “Swallow this live” (versi bajakan) yang merupakan album pertama dari Poison yang saya beli dengan uang hasil curian dari dompet sang ibu. Ah, masa remaja yang kelam.

Namun saat dikenalkan pada thrash metal, lanskap musik saya pun berubah. Posion, Mötley Crüe, bahkan KISS sekalipun masuk ke dalam daftar band lucu-lucuan. Meski demikian, terlalu naif rasanya kalau saya menampik fakta bahwa band-band glam pernah mengambil porsi tersendiri di dalam kehidupan remaja saya, dan salah satunya adalah Poison. Jadi, saya ingin mengenang kembali masa-masa itu.


AWAL MULA

Kisah band Poison dimulai dari kota Mechanicsburg, Pennsylvania. Pada tahun 1985, Bret Michaels (vokal), Rikki Rockett (drum), Bobby Dall (bass), dan Matt Smith (gitar) berangkat ke Los Angeles Sunset Strip, sebuah tempat yang sedang menjadi kiblat bagi kehidupan musik glam kala itu. Di sana, mereka bertekad untuk menjadikan band ini sebagai the next big hair band. Sayangnya, fokus mereka justru bukan pada musik, melainkan sekedar untuk bertahan hidup saja, khususnya Matt Smith yang tidak bisa menangani permasalahan ekonominya yang kemudian berakhir pada hengkangnya ia dari Poison. Bahkan pada masa ini, Bret Michaels pernah mengatakan bahwa satu-satunya barang yang ia miliki adalah sikat gigi. Curhatan itu ia tuangkan dalam “Behind The Music: One Toothbrush and Six Bandanas – The Bret Michaels Story”.

Dengan perginya Smith, band mulai mencari gitaris baru. Mereka melakukan audisi dan akhir pencarian mereka sampai ke C.C. Deville dan Slash. Slash (idola saya sepanjang masa) merupakan pemain gitar yang baik, tapi C.C. memiliki penampilan glam yang sangat didambakan band ini. Jadi bisa dibilang, Poison pada dasarnya merekrut CC atas substansi make-up. Keputusan ini sendiri termasuk peristiwa yang paling signifikan dalam sejarah musik heavy metal di tahun delapan puluhan. Bukan hanya karena Posion mengambil keputusan tepat untuk merekrut C.C. Deville, tetapi tidak mengambil Slash dari pasar terbukti menjadi lebih penting. Ya, membuat pintu terbuka bagi Slash untuk bergabung dengan Guns N’ Roses hanya beberapa bulan kemudian. Seandainya Slash bergabung dengan Poison, mungkin Guns N’ Roses tidak akan sepopuler sekarang, dan yang paling penting, hidup saya tidak akan seperti sekarang.

MERILIS ALBUM

Peluncuran album pertama mereka, “Look What The Cat Dragged In”, berhasil memperkenalkan mereka ke dunia glam. Pada sampul album ini digambarkan empat bagian kepala dari para personil band yang menimbulkan kritik bahwa mereka meniru gagasan sampul album dari Motley Crue “Shout At The Devil”, yang sebenarnya, juga meniru dari sampul album The Beatles “Let It Be”. Selain itu, sampul album pertama mereka juga berhasil menimbulkan beberapa perdebatan lainnya. Pertama, apakah mereka ini pria? Jika iya, apakah mereka memang sengaja untuk berubah menjadi sosok yang feminim? Bahkan banyak yang membuat guyonan waktu itu bahwa Rikki Rockett akan mengalahkan Bret Michaels dalam sebuah kontes kecantikan. Mungkin karena faktor eye shadow yang digunakan Rikki memiliki dampak langsung pada hal ini.

Video pertama mereka, “Talk Dirty To Me”, menampilkan para pesonil band dengan kostum dan make-up yang sangat total serta disokong oleh aksi “berputar-putar” di atas panggung. Tidak ada penonton, hanya band di atas panggung. Di video klip ini, mereka memamerkan gerakan “Jump and Roll” (yang akan dipatenkan kemudian), sebuah gerakan koreografer yang dimaksudkan untuk menunjukkan keutuhan band dan “rock n ‘roll” pada saat yang sama. Poison akhirnya menjadi band yang musiknya tidak hanya untuk para penikmat musik rock, tapi juga untuk para penonton mainstream MTV. Dengan beberapa kostum, ikat kepala, dan topi, jelas memberikan impresi tersendiri bagi penampilan mereka. Unsur “pemberontakan” yang mereka tunjukkan seakan-akan membawa band ini menghancurkan tembok industri musik.

Video berikutnya menggunakan format yang sama untuk lagu “I Want Action” dan kemudian “Nothing But A Good Time”, penampilan band di atas panggung dan tidak ada penonton. Kemudian, “Unskinny Bop” masih menggunakan format yang sama, bedanya panggung yang digunakan terlihat lebih besar dan beberapa “gadis digital” ditempatkan pada sisi Bret Michaels. Jika Anda tergolong sebagai die hard musik metal, tentu Anda akan menilai hal tersebut sebagai sebuah “sampah” belaka. Namun bagaimanapun juga, harus diakui bahwa semuanya itu merupakan gambaran dari sebuah manajamen yang utuh dengan tujuan pemasaran yang mampu melebih dari musiknya sendiri, dan hal ini tergolong jenius jika dilihat dari perspektif komersil. Toh pada akhirnya, Poison menjadi salah satu band terbesar dari era delapan puluhan.

Video klip dari Poison banyak yang “memamerkan” bakat masing-masing anggota di band, terutama Rikki Rockett yang bermain drum sambil berdiri. Dalam “Talk Dirty To Me” kita bahkan bisa melihat para gadis-gadis memegang set drum dari Rikki saat dimainkan, hal yang sangat tidak biasa dan malah terlihat lebih keren dibanding bermain drum sambil duduk. Lagi-lagi, Poison berhasil menonjolkan aspek visual melebihi dari musiknya, dan itu cukup menyita perhatian bagi anak remaja seperti saya.

Sedangkan Bobby Dall dikenal sebagai pembuat masalah,  the bad kid of the group. Tentu karena di sepanjang video klip ia tidak berhenti menghisap rokok. Dia benar-benar memainkan peran sebagai anak nakal dalam sebuah band, yang biasanya ditandai dengan memilki jenggot. Sedangkan untuk sang gitaris C.C. DeVille yang saya rasa agak kurang dalam kategori shredding, tapi kemampuannya dalam hal melempar gitar dan berputar di lantai sambil bermain solo sangat bagus (dari aspek visual). Sang vokalis, Bret Michaels yang kerjanya hanya mondar-mandir, menyodorkan mic, mengambil kamera, serta kemampuannya dalam mengkoordinasikan banyak topi, bandana, dan celana spandex, menjadi nilai tambah tersendiri.

Album kedua Posion, “Open Up And Say Ahh!”, menonjolkan balada “Every Rose Has Its Thorn”, sebuah lagu lembut yang ditulis oleh Bret Michaels di tempat laundry setelah hubungan cintanya putus dengan seorang penari telanjang. Kadang saya tertawa sendiri saat mendengar ada yang me-request lagu ini di radio dengan pesan untuk pacarnya, padahal lagu ini untuk seorang penari telanjang, ha ha ha…! Video klip lagu ini cukup bagus, montase konser, di mana kita bisa melihat sisi pahit manis kehidupan di jalan. Salah satu adegan yagn saya suka adalah ketika Bret berjalan dari panggung dan melempar handuk ke wajah roadie. Hanya beberapa menit kemudian kita melihat Bret melempar gelas bir di sebuah papan tulis yang bertuliskan POISON!. Terlepas dari video tersebut, lagu ini berhasil menangkap patah hati remaja di seluruh dunia, dan berhasil menempatkan lagu ini ke dalam kategori the ballad of all ballads. Jika saat itu Anda sering membeli kaset-kaset kompilasi bajakan, tentu lagu “Every Rose Has Its Thorn” sangat sering berada di daftar.

Album ketiga Poison kemudian mengejutkan banyak orang ketika mereka megenalkan lagu “Something To Believe In”, sebuah lagu merdu yang menceritakan tentang seorang teman yang pergi berperang dan akhirnya meninggal. Lagu ini membuktikan bahwa Poison sebenarnya bisa menulis sesuatu yang lain selain seks, hal yang dominan mereka lakukan pada dua album sebelumnya. Single berikutnya, “Life Goes On”, memiliki video klip yang kali ini menampilkan Bret Michaels memakai dua salib, sebuah pembuktian bahwa inilah lagu yang paling serius dari Poison hingga saat ini.

PERPECAHAN

Pada tahun 1991, Poison tampil di acara MTV Video Award. Terjadi perkelahian di belakang panggung antara C.C. DeVille dan Bret Michaels, yang menyebabkan mereka bermusuhan selama delapan tahun. Dominasi musik grunge saat itu serta penggunaan narkoba dijadikan sebagai kambing hitam (untuk alasan pertama saya sangat setuju). Meskipun terjadi perkelahian di dalam tubuh Poison, namun mereka tetap berjalan dengan menggandeng Richie Kotzen (idola saya kelak) untuk menggantikan CC dalam album “Native Tongue”. Dengan adanya Kotzen jelas mereka memiliki gitaris dan penulis lagu yang berbakat, sayangnya ia dicurigai menjalin hubungan dengan tunangan Rikki sehingga akhirnya ia dipecat. Dikeluarkannya Kotzen adalah contoh lain dari band ini bahwa mereka bermain dengan aturan mereka sendiri, namun aturan mereka sangat aneh. Pada tahun 1994, Blues Saraceno mengisi posisi gitaris yang kosong, tapi Poison sudah menghilang dari tangga lagu, terbukti pada album greatest hits mereka, hanya beberapa lagu dari Saraceno yang diambil. Meski demikian, lebih banyak berita menyedihkan bagi CC Deville, mengingat Blues Saraceno masih dikenang sebagai orang yang menggantikan Eric Clapton di Cream, bukan CC di Poison.

Sepasang album greatest hits dirilis sebelum band “menambal sulam” perbedaan mereka dan kembali bersama-sama pada tahun 1999. Melakukan tur dan memainkan hits lama mereka, Poison akhirnya kembali dan menghajar fans mereka. Sejak tahun 2000 Poison telah merilis album Crack A Smile, Power To The People, Hollyweird, Poison’d, dan Live Raw and Uncut. Bagi saya, dan saya rasa Anda pun akan setuju bahwa tak satu pun dari album-album tersebut yang mendekati keberhasilan tiga album pertama mereka. Itu adalah tiga album pertama di mana penghargaan harus diberikan kepada mereka untuk konsisten menulis lagu yang sama (tentang seks) berulang-ulang, namun entah bagaimana caranya untuk membuat album-album tersebut terasa tetap segar sehingga kita tetap ingin mendengarkannya. Meskipun hanya tiga album utama (bagi saya), Poison tetaplah band besar yang telah sukses menjual lebih dari lima belas juta album, membuat mereka menjadi band rock kelima yang paling sukses dari tahun delapan puluhan di belakang AC/DC, Guns N’ Roses, Motley Crue, dan Def Leppard.

EKSPANSI

Selain tur konstan bersama band dari era 80-an, band ini juga telah merambah dunia pertelevisian. Pada tahun 2006, setelah menyelesaikan rehabilitasi untuk kecanduan kokain, C.C. Deville membintangi VH1 show The Surreal Life, sebuah acara yang mengambil B-list (dan C-list) dari para selebriti dan menempatkan mereka bersama ke dalam sebuah rumah selama satu bulan.

Bret Michaels sendiri berhasil menguasai dunia pertelevisian pada tingkat yang baru dengan “VH1 show Rock Of Love”. Tujuan dari acara ini adalah untuk menempatkan banyak perempuan dalam satu rumah dan Bret mempunyai hak untuk tidur dengan mereka, bahkan seringkali lebih dari satu perempuan pada satu waktu. “Rock Of Love” juga memberi hiburan kepada penonton di rumah yaitu sebuah permainan minum baru: Mengambil tequila setiap kali Michaels mengatakan kata “awesome”. Selain franchise VH1 nya, Bret juga tampil di “Celebrity Apprentice”, sebuah acara yang diselenggarakan oleh pengusaha Donald Trump, di mana para kontestan jutawan ini mencoba untuk tidak dipecat. Di Indonesia, acara ini sendiri pernah disiarkan tv swasta B-Channel 3 tahun kemudian.

Pada tahun 2010, Bret memiliki usus buntu diikuti oleh pendarahan otak, yang membuatnya dalam kondisi kritis selama lebih dari seminggu. Dalam sebuah keajaiban, Bret Michaels kembali ke final Celebrity Apprentice (hanya satu minggu setelah meninggalkan rumah sakit) dan ‘disewa’ oleh Trump. Setelah sembuh, Michaels kembali membuat reality show VH1 bertajuk “Bret Michaels: Life As I Know” di mana dia mengusulkan menampilkan pacar lama dan ibu dari dua anak perempuannya.

Ya, para personil Poison, terutama Bret sudah kehilangan fokus dalam karir musiknya. Tidak ada hal baru yang diciptakan oleh band ini. Bahkan Bret lebih fokus sebagai artis solo dengan merilis album country. Sementara yang lainnya, tidak ada kabar.

***

Itulah band yang bernama Poison, sebuah band yang sempat menjadi racun kala thrash metal itu belum melekat di kehidupan saya. Bagaimanapun juga, Poison adalah band yang sukses mendefinisikan “the eighties hair bands and the rock star party hard attitude”. Sebuah band yang betul-betul paham mengenai konsep glam yang menekankan make-up dan gaya rambut di mana pada tingkat awal band seperti Motley Crue dan Ratt hanya bisa memimpikannya.

Poison berhasil “menjebak” industri bahwa koreografer dalam video klip itu lebih penting daripada musik yang sebenarnya diproduksi. Setelah Poison sukses, banyak band lain yang ikut dan menggunakan konsep mereka untuk meraih popularitas, yang hanya mengarah pada kejenuhan hair bands dan akhirnya menutup kesuksesan glam rock di era sembilan puluhan.

Ref:

  • http://en.wikipedia.org/wiki/Poison_(American_band)
  • http://www.metalunderground.com/news/details.cfm?newsid=48842
  • http://eatplayrock.com/2013/05/poison
  • http://www.sleazeroxx.com/vault/poison.shtml
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Rock_of_Love_with_Bret_Michaels
  • http://latimesblogs.latimes.com/gossip/2010/05/bret-michaels-celebrity-apprentice-holly-robinson.html
  • http://www.imdb.com/title/tt1748833/news?year=2010

Kategori: Rockumentary Tag: Glam, Poison

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. ris :

    15/10/2014 pada 11:13 am

    Sebagai fans slash saya benci band ini seperti slash membencinya.. Tapi ya… Itulah poison….

    Reply
    • Snakepit :

      15/10/2014 pada 11:51 am

      Yes. Menurut saya sendiri poison musiknya terlalu aman, tapi yah bagaimanapun juga, saya tumbuh besar dengan lagu²nya. Satu² nya yang saya suka dari poison ketika diisi sama Richie Kotzen, the most underrated guitarist…!

      Reply
  2. RUDAL :

    11/07/2016 pada 4:05 pm

    TERIMAKASIH TELAH MENGULAS BAND POISON…. AKU SUKA BAND HAIR METAL “80..
    TAPI SAYANG …SEKARANG CARI KASET APA CD NYA SUDAH SULIT…

    Reply
    • Snakepit :

      12/07/2016 pada 4:10 pm

      Masih banyak kok, cuma versi remastered, hahaha…

      Reply

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·