Dini hari, aku masih terjaga. Mataku mungkin lelah, tapi hatiku jauh lebih gelisah. Padahal besok pagi aku harus bugar untuk menyelesaikan pekerjaan di hadapan orang banyak. Pikiranku terus bergelombang, membawaku menyusuri waktu yang telah lalu dan menari bersamanya.
Ada badai kecil di dalam diriku, campuran antara penyesalan dan kesadaran. Penyesalan akan masa itu, saat aku memutuskan untuk mundur. Aku pikir, dengan memberimu jarak, aku bisa memperbaiki hidupku, merapikan segala yang berserakan dalam diriku. Harapannya, setelah segalanya membaik, aku bisa kembali padamu, membawa versi terbaik diriku, dan kita memulai segalanya dari awal. Berpikir bahwa waktu bisa menjadi penyembuh segalanya. Tapi ternyata, waktu tak berpihak pada rencanaku. Jeda yang kuberikan terlalu lama, hingga aku kehilangan kesempatan untuk kembali.
Kamu ternyata tak butuh waktu lama untuk melangkah ke depan. Ketika aku menyadari kau telah melangkah lebih jauh, ada rasa yang mendesak di dadaku. Bukan karena aku marah atau kecewa, tapi karena aku tahu, aku tak punya hak untuk menghentikanmu. Tapi tetap saja, ada rasa pedih yang mengendap di sudut hati ini, rasa yang membuat dini hari ini terasa begitu panjang dan sunyi.
Ya, penyesalan dan kesadaran. Mereka bekerja sama untuk menikamku secara perlahan.
Dan di sinilah aku, dengan gelas kopi kelima yang sudah dingin, tenggelam dalam nostalgia. Aku membuka folder lama yang penuh dengan potretmu, dan bahkan iseng mengunduh kembali arsip percakapan kita dari awan digital. Aku membacanya lagi, satu per satu. Membawa kembali bayangan hari-hari ketika kita saling berbagi cerita, tawa, hingga mimpi yang senada. Ada yang membuatku tersenyum kecil, ada yang membuat hatiku sendu. Meme-meme lucu, stiker-stiker yang kadang norak tapi seru, hingga perdebatan kecil yang dulu terasa penting. Semua itu seperti potongan mozaik kecil dari sebuah karya seni yang megah.
Mata ini tak kunjung terlelap, sekalipun Muadzin sudah mengumandangkan iqamah di masjid. Rasanya, aku sudah terjatuh dalam tarian sang waktu. Hatiku naik turun, seperti gelombang yang tak pernah tenang. Kadang bahagia, kadang pedih. Dan entah kenapa, ada sensasi hangat di dada, perutku terasa lemas. Mungkin begini rasanya mereka yang bergulat dengan masalah asam lambung. Entah ini karena kenangan atau kopi yang berlebihan. Atau mungkin, inilah wujud nyata dari rasa rindu yang tak lagi menemukan tujuannya.
Pada akhirnya, meskipun kini kamu sudah berada pada posisi yang berbeda, aku tetap mengingatmu. Pernah, di suatu masa, kamu adalah bagian dari rencana hidupku, sebuah ruang yang kugoreskan dengan harapan akan masa depan. Walaupun kini semesta telah menulis cerita yang berbeda untuk kita, aku tak pernah benar-benar bisa menghapusmu.
***
Aku masih menyimpan rasa itu. Mungkin bentuknya kini tak lagi sama: Lebih sunyi, lebih dewasa, tapi ia tetap ada.
Rasa itu… tetap bertahan. Ia berdiam dalam sunyi, menghangatkan sekaligus menyakitkan. Dan untuk itu, subuh menjelang pagi ini, aku memilih untuk mengenangmu, menjadikanmu pelipur hingga akhirnya aku terlelap. Mungkin.
Sampaikan Komentar Anda: