Dari begitu banyak live album Iron Maiden, “En Vivo!” berhasil menyita perhatiaan saya, tentunya setelah “Live After Death” dan “Live Flight 666″. Jujur, saya sebenarnya agak bosan karena Iron Maiden terlalu sering mengeluarkan live album. Tapi entah kenapa ada yang lain dari album En Vivo!, dan ini memaksa saya untuk membuat tulisan ini.
Berawal dari tidak sengaja melihat interview di Youtube di mana para personil band mengakatakan bahwa alasan mereka memilih Chili adalah karena “South America always has the really passionate fans”, dan memang itu terbukti!.
Setiap beberapa tahun, Iron Maiden memang rutin melakukan tur dunia, mendokumentasikan setiap konser sehingga semakin memperjelas reputasi mereka sebagai band live terbaik di planet ini. Tahun 2010-2011 mereka melakukan tur bertajuk “The Final Frontier World Tour”, dan konser mereka di Estadio Nacional, Santiago, Chile, kemudian dirilis dalam bentuk DVD/Bluray bertajuk “En VIvo!” setahun kemudian, dan 2 tahun berselang saya baru menyaksikannya, 2 tahun yang terbuang sia-sia. Di luar penampilan band, para fans di Amerika Selatan sangat berdedikasi dan energik. Satu hal yang luar biasa adalah karena tema konser yang fokus pada lagu-lagu baru dalam album “The Final Frontier”, namun para Trooper di Chili sangat luar biasa. Mereka datang tidak hanya untuk menikmati setlist klasik dari Iron Maiden, lagu-lagu seperti “The Talisman” dan “El Dorado” dilahap. Puncaknya ada pada lagu “When The Wild Wind Blows”, yang meninggalkan kesan klasi seperti lagu “Fear of the Dark”.
DVD ini sendiri terdiri dari 2 set, bagian pertama berisi konser, dan disk 2 berisi “Documentary: Behind The Beast”. Untuk setlist sendiri, bisa dibilang ini adalah yang terbaik sejak “Rock In Rio 2001” (menurut saya), nomor-nomor klasik seperti “Fear Of The Dark”, “The Trooper”, diadu dengan lagu-lagu di era millenium seperti “Blood Brother” dan “Dance Of Death” serta dari album terakhir mereka “Coming Home”, “When the Wild Wind Blows”. Untuk judul terakhir, saya rasa lagu itu bisa untuk dimasukkan daftar top 20. Namun, hal yang benar-benar membuat saya tertarik adalah pada bagian dokumenter “Behind The Beast”, yang sangat detil hingga baut-baut pada konstruksi panggung, perencanaan para kru konser, perjalanan 60.000 mil dalam 66 hari, bahkan hampir mendarat saat gempa bumi di Jepang. Saya sangat kagum dengan 300 orang kru Maiden yang hanya tidur sekitar 3 jam. Bagaimana mereka dibuat pusing untuk melindungi kabel dari hujan atau melakukan pengukuran soal kasus perjalanan udara. Intinya, tayangan ini memberi pelajaran bahwa industri heavy metal adalah bisnis yang sangat rumit dan membuat stres. Kurang lebih seperti “Flight 666”, tetapi bagian dokumenter kali ini lebih fokus kepada kru dari produksi acara. Wawancara dengan band, kru, manajer, dan banyak lagi. Ada juga proses pembuatan video “Satellite 15 … The Final Frontier” yang pada akhirnya dijadikan sebagai intro konser.
Maiden benar-benar bermain secara apik dan luar biasa, meski ada sedikit overdubbing, tapi itu seperti tertutupi mengingat mereka rata-rata sudah hampir berumur 60. Namun ada sedikit hal yang menggangu saya pribadi, Bruce Dickinson tidap pernah berhenti untuk berteriak “Scream for me, Chile!”, “Scream for me, Jakarta!”, “Scream for me, bla bla bla!” entah kenapa saya bosan dengan hal seperti itu. Anehnya, saya tidak pernah bosan menyaksikan mereka, lagu “The Number of the Beast” yang mungkin saja sudah dimainkan lebih dari 1000 kali tetap selalu ditunggu. Suara Dickinson yang masih dalam kondisi luar biasa selalu mengundang kita untuk berteriak, tetapi kadang teriakan itu tenggelam karena serangan dari tiga gitar Adrian Smith, Dave Murray, dan Janick Gers.
Sekarang berbicara soal kualitas audio dan visual, tidak perlu diragukan lagi. Kita disajikan top-notch HD dengan tajamnya suara tipikal 5.1 surround. Diproduksi dengan menggunakan 22 kamera RED membuat kita menyaksikan layar split, dan itu berhasil membuat jalannya konser terasa lebih intim karena kita bisa melihat Adrian bermain solo dan di saat bersamaan kita bisa melihat hal yang berbeda sekaligus. Tak ada satu pun dari layar split yang mengganggu dan berhasil membuat kita hanya dalam waktu 5 detik benar-benar dapat melihat semua yang terjadi di dalam stadion. Sinematografi yang luar biasa sehingga kita dapat melihat setiap pori-pori di wajah Bruce, dan setiap detail dari gitar.
Sedikit minus sepertinya ingin saya layangkan untuk Dickinson. Memang suara operanya masih membuatnya menjadi vokalis hebat dengan karisma yang luar biasa, tetapi ada saat di mana dia terdengar sedang berjuang untuk memaksa pada nada tinggi, dan itu memang sangat terasa di album mereka yang terakhir. Entah karena dia mengalami kelelahan atau mungkin saja dia hanya mulai menunjukkan usianya, tapi saya rasa cukup adil, Iron Maiden telah ada selama lebih dari tiga dekade.
Untuk nilai, tidak adil rasanya sebagai penggemar musik biasa untuk memberikan nilai dalam berbentuk angka, mengingat sebelumnya ada begitu banyak para kritikus musik yang sudah memberikan penilaian profesional seperti Kerrang! (4/5), Allmusic (3.5/5), Metal Hammer (8/10), dan yang menurut saya paling kritis Classic Rock (6/10). Secara keseluruhan, “En Vivo!” adalah pembelian yang layak untuk para Trooper. So, of course, up the irons…!
Sampaikan Komentar Anda: