Nyaris 3 semester lamanya kami saling berhubungan, via aplikasi chat. Tak ada yang personal, hanya lawan jenis yang kebetulan memikat saya lewat kemampuan literasinya yang begitu apik, dari sudut pandang saya tentunya. Kendati demikian, saya tidak begitu tertarik dengan pemahaman literasi visualnya, di mana ia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenali dan memahami ide-ide yang terlontar. Buktinya, aktivitas Instagram-nya dipenuhi dengan foto-foto yang tidak berkorelasi dengan caption-nya, sekalipun saya akui bahwa teknik peta pasang katanya ada dalam ranah pro.
Namun tentu saja penilaian seperti itu tidak serta merta membuat dirinya menjadi sosok yang ingin saya jauhi. Pasalnya, saya selalu menyediakan partisi untuk orang-orang dengan tingkat narsisisme yang masih bisa ditolerir. Lagipula, dunia ini akan terasa sangat membosankan jika disesaki oleh orang-orang yang rendah hati.
…dan hari itu pun tiba, kami bertemu untuk pertama kalinya. Melewati prosedur umum orang Indonesia, kami bersalaman dan dia mencium tangan, pertanda bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan yang positif. Setelahnya, ia bergegas masuk ke dalam mobil, entah karena grogi, terburu-buru, atau pura-pura buru-buru. Lewat sesi 3 detik pertama itu, ia meninggalkan impresi yang positif bagi saya: Alisnya tidak dicukur. Simply.
Jujur saja, ia adalah satu dari sedikit perempuan yang saya kenal, yang hingga tulisan ini dibuat, tidak melakukan photoshop terhadap alisnya. Mungkin terdengar menggelitik. Faktanya, saya peduli dengan hal ini. Memiliki alis yang jauh lebih tebal lewat berbagai teknik editing adalah hal yang tidak bisa saya mengerti. Sama rumitnya dengan pelaporan pajak atau algoritma pemrograman CLC-Intercal.
Rasa heran melihat Eric Raymond dan Claudio Calvelli yang memasukkan berbagai fitur keyword tidak masuk akal ke dalam bahasa pemrograman CLC-Intercal, berada pada level yang sama dengan rasa heran saya melihat mengapa ada banyak perempuan yang merasa bahwa dirinya akan terlihat lebih cantik jika alisnya dicukur dan disubstitusi dengan benda berbahan dasar kimia. Dua goresan alis jejadian di atas matanya itu memang membuat mereka terlihat berbeda, namun bukan ke arah yang lebih baik. Sekali lagi, dari sudut pandang saya. Tapi lagi-lagi, keputusan tersebut tidak akan membuat saya menjauhi orang-orang demikian. Saya hanya berharap bahwa keputusan mereka untuk meng-edit alisnya berasal dari keinginannya sendiri, bukan dikarenakan takluk dengan pemahaman universal teman-teman sepermainannya bahwa tato alis lebih baik dari alis natural.
Dan, di sinilah saya semakin yakin untuk menyematkan tanda (+) kala bertemu untuk pertama kalinya dengan perempuan berusia 22 tahun itu. Pertama, karena ia tidak mudah takluk dengan stereotipe. Kedua, bisa dipastikan bahwa ia memiliki lingkaran sosial yang cukup sehat. Memang masih ada kemungkinan bahwa ia tidak terdoktrin dengan pemahaman alis buatan itu dikarenakan ia kurang referensi, alias tidak kekinian. Namun tuduhan seperti itu hanya berakhir sebagai kontradiksi belaka, melihat bagaimana ia terhitung rutin untuk menyisihkan 3-4 slot boomerang pada Instagram stories-nya.
*Kini, saya menahan diri untuk tidak tersenyum sekalipun, meski di dalam hati sudah berteriak riuh rendah.
Sampaikan Komentar Anda: