Kala itu saya sedang melihat-lihat timeline Twitter, dan betapa terkejutnya saat mendapati berita yang menyedihkan. Eddie Trunk meng-tweet bahwa Lemmy Kilmister baru saja meninggal di usianya yang ke 70 tahun.
Saya terkejut! Pasalnya, hanya selang beberapa jam sebelumnya, saya baru saja menonton ulang konser Motörhead di Rock am Ring. Sehari sebelumnya, saya malah begadang hingga pagi dan menjalani waktu kerja dengan playlist dari Motörhead.
Jadi, saya tidak bisa menggambarkan seperti apa perasaan waktu itu ketika mengetahui bahwa sang “Godfather”, “the Ace of Spades”, “the Motörhead”, ternyata sudah berpulang. Bahkan butuh waktu yang lama bagi saya untuk bisa menulis ini, kurang lebih 2 bulan. Saya mencicil waktu untuk bisa menyelesaikan “penghormatan” ini, karena Lemmy merupakan topik yang tidak sesederhana topik lainnya. Mungkin terdengar berlebihan, namun itulah yang saya rasakan. Saya benar-benar tidak percaya dan tidak siap menulis mengenai kepergian Lemmy Kilmister.
Saya pribadi menjadi fans Lemmy saat SMP. Ini merupakan fase pertama dalam kehidupan saya bersenandung dengan Motörhead. Kala itu, merekam musik-musik yang ada di frekuensi FM dengan menggunakan kaset pita kosong adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para remaja, termasuk saya. Entah dari mana, saya mendapatkan kaset hasil rekaman seperti itu dengan sampul kertas HVS bertuliskan “Adi”, sebuah pertanda bahwa kaset tersebut direkam oleh orang bernama Adi.
Saya putar kaset itu, dan terdengarlah pria bernyanyi dengan kata-kata yang tidak jelas. Pria itu sudah seperti termakan usia sehingga suaranya menjadi parau yang dibarengi dengan intonasi yang berantakan pula. Belum lagi pendengaran saya akan bahasa Inggris yang memang buruk saat tu. Satu hal yang jelas, musik itu terdengar sangat cepat, luar biasa cepat untuk remaja yang sehari-harinya hanya mendengarkan Guns N’ Roses dan Bon Jovi. Saya tidak tahu siapa band itu, tidak tahu judulnya, bahkan membayangkan para personilnya saja tidak kesampaian. “Overkill… overkill… overkill…” hanya kalimat itu yang terdengar.
Di suatu malam, saat dimana saya selalu mendengarkan Hard Rock FM sebelum mengakhiri hari, terdengar kembali susunan nada itu. Lewat bantuan penyiar, akhirnya saya mengetahui bahwa band tersebut bernama Motörhead.
Jujur, saya tidak terkesima dengan musik mereka, karena Bon Jovi memang tergolong yang paling keren untuk ukuran remaja saat itu. Namun karena masa remaja saya selalu diisi dengan perubahan hormonal setiap harinya, maka terjadilah “tragedi” itu. Sebuah tragedi yang membuat saya jatuh cinta pada Motörhead, pada Lemmy Kilmister lebih tepatnya.
Saat saya memiliki masalah di rumah, umumnya karena tidak mendapat persetujuan dari orang tua untuk melakukan hal-hal “kriminal”, maka saya memilih untuk masuk ke kamar, mengunci pintu, dan memutar musik dengan volume sekeras mungkin. Jika dulunya saya memilih untuk mendengarkan Guns N’ Roses atau Bon Jovi, namun tragedi kala itu membuat saya lebih memilih untuk memutar kembali kaset rekaman dari Motörhead itu. Alasannya sederhana, karena kaset rekaman itu mengeluarkan bebunyian yang sangat keras dan cepat. Intinya, saya butuh sebuah musik yang keras dengan harapan bisa mengalihkan saya dari rasa kesal. Sebuah pengalihan yang melebihi musik dari Bon Jovi.
Lantunan “Overkill” berulang-ulang akhirnya membuat saya memutuskan (saat itu) bahwa Motörhead merupakan band paling cepat di muka bumi. Dan pada akhirnya, “Overkill” menjadi ritual yang umum untuk saya terapkan kala bermasalah di rumah. Masuk ke kamar, mengunci pintu, dan mendengarkan kaset tersebut. Sebuah ritual yang lambat laun membuat saya jatuh cinta dengan Motörhead.
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah majalah, lupa apakah itu majalah HAI atau Gitar Plus, dan terlihatlah tampang dari band bernama Motörhead itu. Fokus saya hanya pada satu orang: Pria yang ada di tengah, berpostur tinggi, merokok, berkacamata, dan aksesoris Nazi melingkar di lehernya.
Ternyata, pria itu bernama Lemmy Kilmister.
Pertama kali melihat fotonya, saya bergumam layaknya pemain sinetron, “Kamu tidak bisa melawan orang ini!” Pria itu benar-benar merepresentasikan kehidupan yang bernama rock & roll. Saya baru melihatnya, tapi ikatan emosional itu sepertinya sudah terbentuk. Dia seperti Bapak saya sendiri, Bapak khayalan maksudnya. Seorang Bapak yang mengajarkan anak-anaknya tentang bagaimana rock & roll itu sebenarnya. Mengajarkan bahwa rock & roll bukan hanya mengenai musik, tapi soal bersikap, soal bertahan hidup. Ya, bisa dibilang Lemmy menjadi semacam “teman khayalan” saya dalam melewati masa-masa SMP.
Terima kasih banyak untuk Internet, karena saya bisa mendapatkan banyak informasi mengenai Lemmy di sana. Dugaan saya benar, ia ternyata benar-benar hidup berlafaskan rock & roll. Hidup di pinggiran Inggris dan pindah ke London kala remaja untuk menjadi roadie dari Jimi Hendrix. Dari situ, ia akhirnya memiliki kesempatan untuk bergabung bersama band progressive rock bernama Hawkind. Kesempatan itu sendiri datang karena posisi pemain bass di band Hawkind sedang kosong, dan kebetulan Lemmy menyanggupi untuk mengisi kekosongan tersebut. Anehnya, ia ternyata belum pernah memainkan bass. Ia memainkan bass untuk pertama kalinya saat sudah ada di atas panggung.
Sayangnya, karirnya berumur pendek. Ia ditendang dari band akibat tertangkap membawa heroin saat melintasi perbatasan Amerika.
Tidak menyerah, ia menciptakan musiknya sendiri lewat band bernama Motörhead. Motörhead itu sendiri diambil dari judul lagu yang ia tulis untuk terakhir kalinya saat bersama Hawkind. Motörhead merupakan lagu yang didedikasikan untuk mereka yang senang dengan kecepatan, kecepatan kala mengemudikan kendaraannya di jalan.
Adapun dua titik di atas huruf “O” merupakan aksen bahasa jerman yang membuat intonasinya menjadi “Uuu”. Jadi, Motörhead dibaca dengan “Motuuurhead”. Namun menurut Lemmy, tidak seperti itu. Pasalnya, titik dua itu bukan sebuah penekanan pada intonasi, namun hanya hiasan saja. Lantas, mengapa ia menggunakan titik dua itu jika memang tidak bermakna? Menurut Lemmy, ia menambahkan titik dua itu karena terlihat keren saja. Terdengar bodoh, utamanya untuk orang Jerman.
Namun sepetinya, alasan itu bisa saya terima. Saya menerimanya karena dia adalah Lemmy Kilmister.
Musik yang ia mainkan juga sebenarnya sulit saya terima untuk pertama kalinya. Masalahnya, saya bingung dalam mendeskripsikan musik Motörhead. Apakah itu hard rock, heavy metal, blues, atau apalah. Di dalam sebuah interview, Lemmy menegaskan bahwa musiknya hanyalah rock & roll saja. Hal yang menurut saya sedikit ngaco, entah itu karena ia merendah atau karena memang sedang malas berpikir. Tapi tak mengapa, karena ia adalah Lemmy Kilmister. Tidak ada yang bisa mengganggunya.
Kala setiap vokalis band selalu membuka konser dengan kata-kata yang puitis dan terkesan memuja-muja penonton yang sudah hadir menyaksikan konsernya, Lemmy justru melakukan hal yang terkesan tidak mau ambil pusing. Pria ini naik ke panggung dan hanya berkata: “We are Motörhead, and we playing rock & roll…” Setelah itu, ia terus mencabik bass-nya hingga konser berakhir. Cukup itu saja, namun tak mengapa karena dia adalah Lemmy Kilmister.
Namun jujur, kisah mengenai perjalanan musiknya bukanlah prioritas bagi saya. Bukan berarti bahwa musik Motörhead tidak mendapat porsi lebih di telinga saya, hanya saja kehidupan Lemmy jauh lebih berpengaruh dalam tumbuh kembang saya sebagai remaja pembangkang di rumah. Setiap kali mendapat hukuman karena perilaku yang menyimpang, selalu saja ada impian absurd bahwa Lemmy akan muncul di jendela dan mengulurkan tangannya pada remaja yang sedang bimbang ini. Berharap bahwa ia akan membawa remaja ini ke sebuah bar, lalu mengenalkan pada hal-hal yang sudah lama diimpi-impikan oleh para remaja yang sedang puber.
Jujur, saya selalu menjadikan Lemmy sebagai “teman khayalan”. Berkhayal bahwa aktivitas saya dilakukan bersama-sama dengannya. Ya, setiap orang tentu pernah melakukan hal seperti ini. Tunggu, atau hanya saya sajakah yang melakukan hal seperti ini? Entahlah, mungkin saya memang mengalami gangguan psikologis sejak kecil.
Entah bagaimana cara saya menuliskan mengenai kekaguman itu, kekaguman pada pria yang menutup kisah rock & roll nya di angka 70 tahun. Mungkin saya membutuhkan jasa seorang penyair untuk menggambarkan hal tersebut. Ya, saya jatuh cinta padanya. Jika Anda menganggap rasa cinta ini semacam ketertarikan seksual, itu terserah Anda. Yang jelas, saya betul-betul jatuh cinta dengan karakternya, personalisasinya sebaga seorang pria.
Bahkan seorang Slash yang merupakan idola saya sepanjang masa sekalipun mengakui bahwa Lemmy adalah sosok yang sangat ia kagumi. Sepertinya, jika suatu saat nanti saya bertemu dengan Slash, saya tidak akan bertanya banyak soal kehidupan pribadinya atau soal Guns N’ Roses, karena saya akan lebih banyak membicarakan soal Lemmy Kilmister. Impian yang absurd lagi-lagi…
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya tak keberatan dengan pilihan hidupnya tinggal di apartemen kecil sebagai pria penyendiri dan tanpa istri. Sebuah apartemen yang dijejali dengan memorabilia perang dunia dan Nazi. Saya sendiri menggemari sejarah perang dunia, namun merasa aneh ketika ada orang yang mengoleksi barang-barang peninggalan Nazi. Namun karena yang melakukan itu adalah seorang Lemmy, maka tidak masalah. Tidak masalah karena dia pernah berkata, hanya dikarenakan kamu mengoleksi atribut Nazi, bukan berarti kamu adalah seorang Nazi.
Sekalipun ia tinggal sendiri, namun dia sebenarnya memiliki seorang putra yang kadang ia ajak bermain gitar saat konser. Namun ia tidak pernah mengklaim bahwa dirinya menikah.
Tidak mengapa, karena dia adalah Lemmy.
Entah bagaimana cara saya untuk menjelaskan bahwa Lemmy adalah sosok yang luar biasa megah di mata saya. Hal terakhir yang membekas dibenak saya adalah ketika menyaksikan film dokumenter tentang dirinya yang berjudul “49% Motherfucker / 51% Son of a Bitch”. Dengan yakin ia menjelaskan bahwa musisi yang hebat itu harus terlihat seperti manusia dari planet lain.
Dan ya, Lemmy memang tampak berasal dari planet di luar Bumi.
***
Kita tidak akan pernah bisa berbicara heavy metal tanpa menyebut dirinya. Faktanya, Anda memang tidak bisa menceritakan sejarah dari heavy metal modern tanpa meyertakan sosok Lemmy, termasuk ketika berbicara Metallica dan historikal thrash metal itu sendiri. Ini bukanlah sebuah hiperbola, karena saya memang selalu menghindari kalimat hiperbola kala berbicara soal musik.
Jika apa yang saya tuliskan kali ini terkesan berlebihan atau terlalu mendewakan orang yang sudah tiada, itu dikarenakan Lemmy Kilmister memang patut untuk mendapatkannya. Ia benar-benar sudah hidup dengan jalannya sendiri, dan ia benar-benar menikmatinya. Saya berani bertaruh, ia sama sekali tidak pernah menyesali pilihan hidupnya.
Tulisan ini sendiri tidak bertujuan untuk membuat saya merasa tegar dan bisa melupakannya, karena saya akan selalu merindukan beliau. Itu pasti! Lemmy akan selalu dicintai oleh jutaan orang di dunia ini dan tidak mungkin Lemmy tidak mengetahui hal ini.
Sederhana, Motörhead adalah Lemmy, dan Lemmy adalah Motörhead…!!!
“Born to Lose, live to Win”
*edit: 10 bulan setelah tulisan ini dibuat, saya membentuk sebuah EO, di mana EO tersebut saya beri nama Murder One. Murder One adalah nama amplifier favorit dari Lemmy Kilmister.
Sampaikan Komentar Anda: