snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Life / Desersi “Comfort Zone”

Desersi “Comfort Zone”

20.10.2016

Untuk bisa menjadi orang yang sukses, Anda harus berani keluar dari comfort zone.”
– Seorang pria, yang mencari uang dari pekerjaan bernama motivator

Entah sudah berapa kali saya mendengar advokasi demikian terlontar dari moncong para motivator, pre-motivator, orang yang bercita-cita menjadi motivator, atau mereka yang sepertinya menjadi bijak gara-gara bermain Instagram: Mengunggah foto berbalut caption yang menyerukan para follower-nya untuk keluar dari zona nyaman, sekalipun paham bahwa foto selfie yang ia unggah tersebut tidak memiliki korelasi apapun dengan caption-nya. Dan, inilah yang baru saja saya alami.

Sebenarnya, saya tidak punya masalah dengan hal tersebut, karena wanita dengan tipikal seperti itu sudah sangat sering saya jumpai. Namun yang mengusik adalah, ia menyematkan tag kepada saya.

Foto, caption, dan tag yang kusut.

Saya merasa risih. Risih dengan berbagai argumentasi dangkal yang tiap hari ia dan teman-temannya serukan. Saya tak kenal teman-temannya, tapi saya bisa menilai mereka dari komentar-komentar di bawah foto yang sama kusutnya. Sekalipun sejak kecil saya diajarkan untuk tidak menilai buku dari sampulnya, namun saya memiliki hipotesa sendiri bahwa saya bisa menilai seseorang dari jejaring sosialnya.

Sepertinya, inilah amalan aktual dari narasi Russell Crowe di pembuka film Nice Guys. Ya, inilah masalah remaja-remaja era jejaring sosial. Mereka merasa banyak tahu akan hidup dan selalu merasa diri mereka spesial. Lucunya, mereka hanya ada di internet.

HARUSKAH KELUAR DARI ZONA NYAMAN?

Kendati saya tidak pernah melakukan studi kasus ataupun social experiment, namun saya yakin bahwa mayoritas orang di Indonesia percaya bahwa kita harus meninggalkan comfort zone atau zona nyaman. Mengapa saya sampai sedemikian yakinnya? Itu karena saya belum pernah mendapati seorang motivator ataupun remaja-remaja yang bijak di Instagram mengajak untuk tetap ada pada zona nyaman.

Umumnya, mereka meminta kita untuk meninggalkan zona nyaman itu dengan alasan bahwa zona nyaman melenakan, membuat diri kita terbelenggu sehingga sulit berkembang. Intinya, mereka terus mengajak orang lain agar mau meninggalkan zona nyamannya. Sebuah ajakan yang secara otomatis membuat zona nyaman identik dengan hal negatif.

Lantas, jika hidup di dalam comfort zone itu dianggap sebagai hal yang tidak baik, pertanyaan yang muncul kemudian: Maukah Anda hidup di dalam crisis zone? Sebuah zona yang penuh dengan rasa tidak nyaman. Tidak. Tentu saja.

Adalah hal yang manusiawi jika setiap orang menginginkan kenyamanan dalam hidupnya. Tidak logis, bahkan sangat aneh jika ada orang yang menghindar dari kenyamanan.

Contoh sederhana, jika selama ini Anda hanya tinggal di sebuah kamar kost berukuran 2×3 meter, lalu harus dihadapkan dengan masalah akses transportasi. Untuk bisa sampai ke rumah kost, Anda harus menempuh perjalanan melewati gang yang mana sepeda motor sekalipun tidak bisa menjangkaunya. Sesampainya di kamar kost, apa yang Anda temui hanyalah tumpukan sampah dan genangan air di atas mata kaki. Nah, inilah sebuah gambaran sederhana dari crisis zone.

Lalu tiba-tiba, atasan Anda memberikan sebuah penghargaan berupa bonus rumah di kawasan Green Permata Residences yang menjanjikan kehidupan asri di tengah kota. Hunian mewah dengan konsep tropis ini merupakan refleksi gaya hidup modern dengan perpaduan dua nuansa berbeda, yaitu nuansa Singapura dan Bali. Dua hal inilah yang bersatu membentuk kenyamanan sebuah pulau tropis dan kehidupan kota metropolitan. Nah, kawasan Green Permata Residences yang merupakan masterpiece dari para arsitektur modern ini merupakan comfort zone.

Kini, pertanyaan saya selanjutnya: Anda memilih yang mana, kamar kost sebelumnya atau rumah di Green Permata Residences?

Secara logika, Anda tentu akan memilih tinggal di Green Permata Residences dengan segala kenyamanan yang ditawarkannya bukan? Secara naluriah, seorang manusia tentu menginginkan rasa nyaman tersebut.

Lantas, bagaimana dengan cara berpikir yang mengajak kita untuk selalu keluar dari comfort zone itu?

DON’T LEAVE, JUST MAKE IT BIGGER

Selama ini mereka mengajak kita untuk keluar dari comfort zone, karena beranggapan bahwa comfort zone akan membelenggu kita sehingga kita terlupa untuk bergerak maju. Semestinya, apa yang harus kita lakukan bukan dengan meninggalkan comfort zone itu, tapi membuatnya menjadi lebih besar. Tidak ada yang salah dengan mengombinasikan kemajuan dan comfort zone.

Saya pribadi lebih memilih untuk bertahan di zona yang nyaman, sambil terus mengembangkan area tersebut seluas mungkin. Saya tidak pernah berfikir untuk menyakiti diri sendiri dengan masuk ke dalam crisis zone, karena saya sudah meraih comfort zone itu sebelumnya.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan para motivator yang mengajak orang untuk meninggalkan comfort zone. Saya menyadari bahwa hal tersebut bertujuan agar orang-orang mau masuk ke dalam crisis zone sehingga bisa mengembangkan dirinya sendiri, karena di dalam crisis zone itulah terdapat self challenge. Namun yang menjadi masalah, apakah para motivator itu paham bahwa tidak semua orang, bahkan hanya sedikit sekali orang yang memenuhi syarat untuk menjalani crisis zone? Setahu saya, salah satu orang itu bernama Kurt Cobain.

***

Jadi, menurut saya pribadi, comfort zone bukan sesuatu yang harus kita tinggalkan, melainkan harus kita perluas. Jika kita memang bisa hidup nyaman, mengapa kita harus memilih yang tidak nyaman? Dan ingat, comfort zone itu bisa berwujud apapun, baik itu secara fisik dan psikis. Saya pribadi lebih menikmati comfort zone itu secara psikis, kendati secara fisik orang akan menilai kehidupan saya sebagai seorang homeless. Lebih buruk lagi, seorang nomaden.

Tak masalah, karena baik comfort zone maupun crisis zone itu relatif, subjektif tergantung pelakunya. Dan jika Anda mengenal saya sejak lama, maka Anda akan menyadari bahwa saya adalah seorang pelaku yang berbeda dari pelaku kebanyakan.

Kategori: Life Tag: Comfort Zone

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. Beautiful Disaster :

    20/10/2016 pada 6:11 pm


    shocked!

    Reply

Sampaikan Komentar Anda: Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·