World on Fire merupakan album ketiga dari sang ikonik Slash yang telah dirilis sejak 16 September yang lalu, namun baru kali ini saya bisa mendengarkan album ini secara utuh selama lebih dari 77 menit. Masih bersama para pengikutnya, Myles Kennedy & the Conspirators, album ini menyajikan intro yang cukup solid, riff gitar yang megah, dan kekuatan serta keangkuhan vokal dari Myles Kennedy.
Dibandingkan dengan album Apocalyptic Love yang dirilis dua tahun lalu, World on Fire terdengar cukup logis meskipun tidak terlalu radikal. Untuk durasi, album ini terhitung 20 menit lebih panjang jika dibandingkan dengan Apocalyptic Love, dan hal ini terbilang jarang dilakukan untuk sebuah album hard rock. Namun membandingkan dua album ini sepertinya percuma, karena sama halnya dengan membandingkan dua album Iron Maiden: Powerslave dengan Seventh Son of a Seventh Son.
Diproduksi oleh Mike “Elvis” Baskette, World on Fire berhasil menggambarkan sihir musik luar biasa yang dilakukan oleh Slash, Myles Kennedy, Todd Kerns, dan Brent Fitz. 17 lagu yang disajikan berhasil menerobos masuk ke sisi tradisional Slash, dengan perubahan kunci grip yang membawa telinga dengan mudahnya larut ke dalam permainan solo ala Slash.
Cukup dengan intronya, langsung saja kita me-review lagu secara satu-persatu!
Album ini diawali dengan intro yang lezat pada lagu World on Fire dan menjadi pilihan yang cerdas sebagai pembuka album. Dilanjutkan dengan teknik gitar arpegiatic, lagu berjudul Shadow Life memulai track ke 2 dengan intro yang sangat teliti yang mana bisa menurunkan tempo secara refrain. Permainan gitar yang “kotor” serta “muntahan” riff dengan vokal yang runcing sepertinya menjadi penggambaran nyata dari gaya hidup sang “Conspirators”. Untuk berkapitulasi dengan bagian solo gitar, telinga Anda akan melalui tempo yang berkelok-kelok, irama, dan aliran yang surut.
Untuk lagu ketiga, Slash dan Myles menyajikan lagu Overdrive Automatic yang dibuka dengan kesan vintage ala 50-an. Vokal Myles sebagai lapisan atas berjalan dengan mekanisme yang tepat dengan bagian gitar yang mengikuti lagu sebelumnya. Selanjntya, dengan syncopated drum dari Brent Fitz, lagu ke 4 yang berjudul Wicked Stone terdengar lebih modern dengan penekanan pada bagian rhythm yang bernafas kehidupan. Suara dari gitar Slash mampu memberikan latar belakang yang terasa lembut dan memberi ruang bagi suara tenor Myles agar bisa melambung tinggi.
Sebuah tempo yang lengket membuka lagu 30 Years to Life yang tiba-tiba saja meledak menjadi lagu bernuanasa rock modern dengan nada yang sedikit blues. Vokal Myles yang dipasangkan dengan vokal latar memberikan tekstur yang berbeda. Solo gitar pertama akan membawa kita ke tempo yang lambat namun ringkas, kemudian terjadi perubahan penting yang sarat akan ledakan. Sekarang tubuh Anda akan benar-benar bergoyang, dengan teriakan dari backing vokal yang membuat Anda serasa ingin ikut bergabung. Setelah itu, sebuah gitar yang manis mengundang Anda untuk terbang bersama lagu Bent to Fly. Myles melakukan teknik vokal dengan kualitas yang berbeda untuk membuat telinga tertekuk dan memperhatikan secara lebih dalam dan lembut. Ya Myles, kami ingin mendengar lebih banyak lagi lagu seperti ini…!
Kombinasi yang halus namun tegas dari petikan gitar, merdunya vokal yang naik ke oktaf lebih tinggi lalu berkilau ke bawah, dibangun dengan intensitas yang ditinggalkan hanya dalam beberapa waktu kemudian. Sebuah distorsi gitar yang hampir beraroma psikedelik membuat lagu Stone Blind akhirnya meledak menjadi sebuah mekanisme yang tidak menerima jawaban tidak! Liriknya berbicara dengan konsekuensi emosional yang dibutakan oleh kecantikan fisik. Sebuah pesan besar yang ditanamkan ke dalam jiwa pendengarnya melalui infusi rock & roll. Di bawha lagu ini, ada Too Far Gone yang merupakan salah satu lagu dengan intro terkeren di album ini. Lagu ini memiliki solo gitar, melodi vokal, dan lirik yang cukup baik. Great song, itu saja.
Apa yang Anda harapkan ketika mencampur musik antara Slash Snakepit dan Alter Bridge? Jawabannya adalah lagu Beneath the Savage Sun. Sebuah lagu dengan bit bluesy-swamp yang kotor. Liriknya yang tertumpah dari kekejaman perburuan gajah membuat lagu ini menjadi sedikit goyah dengan temponya dan membuat kita terus terjaga dalam menebak percikan gitar apa yang akan ditemui selanjutnya. Lagu ini sukses membawa kita pada vokal Myles yang diselaraskan dan terdengar sangat bulat, menghasilkan sebuah asumsi dari aura dunia yang lain dengan tetesan dari gitar berbeludru.
Lagu Withered Delilah mampu memberikan dosis besar dan kuat sebagai obat kesengsaraan. Liriknya berbicara mengenai seorang perempuan dalam bisnis pertunjukan yang menyedihkan dan dihantarkan dengan iringan gitar akustik yang sangat hati-hati sehingga mampu memberikan kesan manis dan terbentang menjadi paduan suara yang epik nan megah. Track ke 11 berjdul Battleground, akhirnya sebuah lagu ballad. Lagu yang sangat kuat dan berkelok-kelok antara membelai vokal dan gitar tentatif membuat lagu ini menjadi sebuah metafora dari alam yang berbicara kepada seseorang bahwa: “tidak peduli berapa banyak mereka mencintai satu sama lain, tetap saja dapat mengubah hidup mereka menjadi perang bercokol arena.” Satu-satunya bagian yang menurut saya sedikit menganggu adalah pada bagian “la la la… “, membuatnya terdengar seperti emosi yang sulit untuk diraba.
Dirty Girl, sebuah lagu pendek yang benar-benar “dirty” dengan grinding rock klasik yang dinginkan semua fans: intens dengan beat yang lengket. Gitar yang duniawi dan sensual membuat Slash benar-benar mendarat dengan mesum, diikuti oleh vokal Myles yang kembali manis dan terdistorsi dengan ledakan yang membuatnya berada dalam alur yang jahat.
Slash kemudian membawa kita ke dalam lagu Iris of the Storm selama 4 menit. Harmonisasi vokal dari Myles yang dipasangkan dengan permainan gitar Slash membuat lagu ini memiliki riff dan solo yang terang dan tiba-tiba berubah menjadi gelap. Solo gitar kedua seperti memanjat dan mengasumsikan kehidupan kita sendiri yang langsung menuju ke bagian akhir. Kali ini, Slash akhirnya menggunakan wah pedal, membuat telinga kita tidak bisa melakukan apa-apa namun tubuh akan bergerak seirama menjadi satu dengan suara.
Avalon, sebuah lagu yang terdengar memiliki “perkara” dengan musik dari band Queen, Tie Your Mother Down. Tapi hal ini tidak membuatnya menjadi lagu yang buruk, karena yang melakukannya adalah Slash. Lagu ini kemudian diikuti oleh sebuah “kutukan” dan distorsi mungil dari gitar tua dengan kualitas vinyl 45 yang membuka lagu The Dissident. Myles berbicara tentang perang dalam artian kesenjangan antara generasi dan keyakinan pribadi seseorang. Tepat pada bagian tertinggi, kita akan mendengarkan jangkauan vokal Myles yang berspiral ke dalam solo gitar yang Slash-tastic. Sulit mengikuti lagu ini, apakah ingin terjun pada cerita atau fokus pada musiknya, namun ini adalah komposisi yang tepat: lirik yang bermakna dengan ikatan emosional para personil.
Di album ini, Slash akhirnya kembali dengan lagu instrumental “biadab” bertajuk Safari Inn. Biadab bagaikan se ekor panter yang merayap mencari mangsa. Ya, seperti itulah Slash yang tampak mengejek para fans dengan kehebatannya. Sebuah pesona yang muncul dari kemahiran sang legenda yang kemudian meimpin kita ke jalan yang menggoda bernama “Safari”. Setelah mendengarkan lagu ini, Anda akan bergumam: “Dia adalah monster dengan alat musit di tangan, dan manusia bisa saja bersujud kepadanya.” Para fans sepertinya tidak akan datang ke konser untuk mendengarkan dia memainkan lagu ini, namun hanya untuk mencari kesenangan sendiri. Slash tahu apa yang diidamkan oleh mereka, dan dia memberikan hal itu, dan masih banyak lagi.
Sebuah pembukaan dengan solo gitar yang serius disertai dengan tawa anak-anak memberi sebuah firasat ke mana lagu penutup berjudul The Unholy in akan mengakhiri rangkaian album World on Fire. Vokal Myles dimulai dengan kisah sedih yang diikuti oleh bisikan menakutkan, tersembunyi dan mengandung unsur okultisme. Ditandai dengan perpindahan refrain sebagai bentuk dalam mengungkapkan sifat tematik sejati. The Unholy melintasi bagian depan dan belakang seraya berbisik menuduh dengan pernyataan yang kuat. Kunci minor yang dipakai berhasil membangun sebuah aura horor dalam lagu. Emosi yang mendalam dapat dipahami dari korelasi antara kicauan dari anak-anak yang bahagia dan kejahatan yang telah mereka derita di tangan para pemimpin yang dipercaya berasal dari Gereja Katolik. Lagu ini dapat menyimpulkan bahwa masalah seperti ini hanya bisa ditutupi dan dilupakan saja.
***
Mendengarkan album ini secara utuh akan memberikan sebuah perjalanan yang luar biasa dari lagu World on Fire ke lagu The Unholy. Pertanyaannya: “Apakah petualangan tersebut menyenangkan?” TENTU SAJA…! Suaranya tak tertandingi.
Jujur saja, saya akan mengakui bahwa mendengarkan album ini lebih berarti dibandingkan dengan mendengarkan Guns N’ Roses formasi sekarang. Album GNR di era yang lalu akan selalu menjadi legenda, namun musik selau mengenai bagaimana musisi menciptakan sesuatu yang baru untuk didengarkan. Dalam era modern, industri musik sudah menjadi tempat yang mengerikan, dimana sebuah lagu hanya dirilis secara generik dalam tiga menit yang penuh dengan omong kosong kemudian akan dilupakan seminggu kemudian. Dengan mendengarkan album seperti ini secara utuh, ada sebuah kesan dan harapan baru yang mereka berikan. Mungkin akan terdengar berlebihan, namun album World on Fire sepertinya bisa dikenang layaknya album Appetite for Destruction, sebuah album yang mengubah hidup saya.
Harapan pribadi, semoga Slash bisa terus bekerja bersama Myles, Todd, dan Brent dalam membuat membuat musik yang lebih besar. Slash tampaknya sudah menemukan orang-orang yang tepat untuk menulis dan memainkan musik yang dia ingin mainkan. Album World on Fire menunjukkan bahwa mereka telah membentuk sebuah ikatan dalam band yang bermain untuk musik dan kesenangan, sebuah kondisi yang sangat jarang ditemui saat ini.
Long Live Slash…!
Sampaikan Komentar Anda: