snakepit

long haired guy...

  • Home
  • Web
    • Pengembangan Situs
    • Web Monetization
  • Rockumentary
  • Life!
  • Hak Cipta
  • Tentang Saya
  • Kontak
Navigasi: Home / Rockumentary / CD Review: Megadeth – Dystopia

CD Review: Megadeth – Dystopia

15.02.2016

Megadeth - Dystopia

2016 sudah hampir menghabiskan bulan keduanya, namun baru satu album yang tersinkronisasi dengan baik oleh indera pendengaran ini. Beruntung album itu berasal dari Megadeth, my high priority on the thrash metal scene!

Saat berbicara mengenai genre musik thrash metal, utamanya the big 4, harus diakui bahwa Metallica adalah band yang paling populer secara komersil, namun lirik-lirik yang mereka tulis bagi saya sangatlah pop. Selain itu, ada pula Slayer dengan musiknya yang sangat keras. Meski demikian, karena mereka mengusung unsur satanisme, wajar jikalau nyokap sering mengeluh saat musiknya saya putar di mobil. Sementara Anthrax, bagi saya mereka terlalu girly untuk ukuran thrash metal. Maaf buat fans Anthrax.

Jadi, sudah jelas mengapa Megadeth saya tempatkan pada urutan pertama.

Kembali ke album Dystopia.  Album ini sudah dirilis di awal tahun 2016 dan beberapa lagunya sudah bocor di internet tahun lalu. Ini merupakan album pertama Megadeth tanpa drumer Shawn Drover sejak tahun 2004 dan tanpa gitaris Chris Broderick sejak tahun 2007. Untuk posisi drum, tempat duduk tersebut diambil oleh drumer Lamb of God yang juga merupakan fans berat Megadeth sejak kecil, Chris Adler. Sementara tampuk gitaris utama beralih ke tangan pria asal  Brazil yang terkenal lewat band progressive metal bernama Angra. Dialah pria yang bernama Kiko Loureiro, the most underrated guitarist on the world…!

Dave Mustaine memang terkenal dengan arogansi dan dominasinya dalam setiap album Megadeth. Namun di dalam album Dystopia, terdengar jelas bagaimana gebukan drum dari Chris Adler sangat bebas. Saya begitu senang dengan permainan double bass-nya yang sangat beda ketika bermain bersama Lamb of God. Sementara untuk suara gitar, Kiko Loureiro sepertinya berhasil memberikan pengaruhnya tersendiri kepada band secara keseluruhan. Ia berhasil mengeluarkan bebunyian bernuansa progressive ala Angra.

Dave Mustaine sendiri melakukan hal yang baru pada album ini di mana ia selalu menggeram dengan suara yang berat. Semua lagu ia nyanyikan dengan teknik seperti itu. Jadi, jangan terkejut jika Anda tidak lagi menemukan suara khas Dave Mustaine seperti pada lagu “Holy Wars” atau “Peace Sells”. Bagi saya, Dave Mustaine terasa lebih nyaman menyanyi dengan cara seperti ini. Tapi entah bagaiman saat live nantinya. Tapi secara keseluruhan, saya sangat senang dengan caranya bernyanyi.

Sementara untuk bagian bass, David Ellefson sebenarnya bukanlah favorit saya. Entah mengapa, saya tidak begitu tertarik dengan pemain bass – utamanya dalam musik metal – yang masih menggunakan pick, termasuk Jason Newsteed kala masih bermain bersama Metallica. Terlepas dari itu, permainan bass David Ellefson biasa saja. Entah karena saya tidak terlalu memperhatikan atau karena David Ellefson memang tidak pernah mendapatkan tempat di telinga saya.

Cukup Baguskah Album Dystopia?

Album ini dibuka dengan lagu “The Treat is Real” yang cukup mampu menghadirkan suasana ala Megadeth jaman Rust in Peace. Betapa tidak, intro lagu ini dimulai dengan suara ala padang pasir yang mendaratkan kita pada bagian tengah lagu “Holy Wars… the Punishment Due”. Oh sial, saya kangen dengan suara gitar Marty Friedman. Setelah bagian intro tersebut, saya merasa bahwa Kiko Loureiro memberikan hal yang berbeda untuk band sekaliber Megadeth, mungkin karena ini untuk pertama kalinya. Melodi gitar yang terkesan berbeda tersebut bisa disambut dengan baik oleh masuknya suara Dave Mustaine. Lagu yang cukup epik jika dibandingkan dengan dua album sebelumnya, “Super Collider” dan “Th1rt3n”.

Setelah itu, lagu kedua yang bertajuk sama dengan judul album, terdengar agak standar di 20 detik pertama, namun ketika solo gitar masuk, senyumpun merekah. Saya semakin yakin bahwa album ini cukup menjanjikan ketika mendengar suara Dave Mustaine yang ditimpal dengan solo gitar yang pendek-pendek. Sederhana, namun cukup untuk menjadikan album ini wajib dikoleksi di tahun 2016. “Dictatorship and starting with to run aside, You must destroy the cancer at it’s roots”. Lirik yang sangat “bijak” menurut saya dan inilah alasan saya di awal mengapa menyebut lirik-lirik dari Metallica sangat pop.

“Fatal Illusion”, lagu ke tiga. Lagi-lagi Kiko Loureiro memainkan solo gitar yang pendek-pendek, namun kali ini dibayang-bayangi dengan distorsi yang khas dari permainan Dave Mustaine. Sementara itu, samar-samar David Effelson memainkan sedikit notasi bassnya (dengan pick tentu saja). Chris Adler yang sedari tadi hanya mencolek simbal, menandai dimulainya lagu ini dengan hentakan yang sesekali mengalami jeda. Namun ada yang sedikit mengganjal di telinga saya. Pada pertengahan lagu, Anda akan mendengarkan suara layaknya mobil truk sedang mundur untuk menumpahkan muatannya. Ya, suara “tit… tiitt… tiiittt…” Entah mengapa, bagi saya suara tersebut sangatlah mengganggu. Beruntung bagian solo Kiko Loureiro berhasil membuat saya “memaafkan” hal tersebut dan membawa hingga ke akhir lagu dengan tangan yang dikepalkan ke udara. Hell yeah… Mega”fucking”death is fucking back…!

Lagu ke empat, ada “Death from Within”. Pada menit ke 1, saya langsung mengingat Anthrax. Pasalnya, lirik lagu tersebut menyelipkan kata “Belly of the Beast”, sebuah kalimat yang juga digunakan di dalam lagu Anthrax, bahkan menjadi judul lagunya. Tapi sudahlah, Anthrax mungkin akan mendapatkan porsinya tersendiri dalam tulisan saya ketika mereka sudah merilis album barunya. Untuk lagu “Death from Within” itu sendiri tidak bisa saya tangkap dengan cepat. Tidak ada hal yang baru di dalam lagu ini jika dibandingkan dengan 3 lagu sebelumnya. Mungkin karena ke 3 lagu tersebut sudah terlanjur mengambil porsi di telinga saya.

Ok, kita sudah di pertengahan album dengan lagu kelima. Jika Anda ingin mendengarkan lagu ini, saya sarankan lakukanlah pada tengah malam, saat mata sudah lelah selepas mencari nafkah seharian. Chris Adler memainkan peran ala pemain marching band pada awal lagu “Bullet to the Brain”. Kemudian sebuah nada dari gitar akustik yang sangat syahdu akan membuat Anda mulai terlelap. Tapi sayang, hal itu hanya terjadi selama 20 detik saja, karena kini saatnya Anda terjaga dan mendengarkan suara yang gelap dari Dave Mustaine memanggil-mangil dengan liar: “She had to know, know, know… He’d give love for sex, He had to know, know, know… She’d give sex for love”. Lirik yang kemudian membuat saya senyum-senyum sendiri menjelang adzan subuh. Sebuah lirik yang membuat saya semakin yakin untuk menempatkan Megadeth di atas Metallica, bahkan di atas seruan adzan subuh sekalipun.

Lagu selanjutnya, “Post American World” tampaknya cukup asyik dibawakan Megadeth saat live. Pasalnya, double bass dari Chris Adler sangat mampu mengiringi aktivitas headbang nanggung para metalhead. Jeda yang dilakukan Dave Mustaine antara satu bait ke bait lainnya saya rasa bisa digunakan oleh para penonton untuk meneriakan “Megadeth, Megadeth, Megadeth…!”. Sebuah aksi tipikal yang biasa dilakukan para metalhead saat lagu “Symphony of Destruction”. Di tengah lagu, ada suara gitar akustik yang hampir mirip dengan intro lagu “Bullet to the Brain”. Kiko Loureiro tampaknya akan cukup sibuk saat membawakan lagu ini secara live nantinya. Suara gitar itu membuat tempo lagu mulai turun, namun hanya sesaat Dave Mustain dan Kiko Loureiro menaikkan adrenalin dengan beradu pada bagian solo gitar, hanya saja durasinya sangat pendek.

Lagu ke 7, dan ini dia lagu yang paling unik menurut saya di album Dystopia. Entah dapat ilham dari mana, Dave Mustaine kembali menambahkan suara gitar akustik sebagai pembuka lagu. Terdengar pula samar-samar suara keyboard yang mungkin sengaja digunakan mengingat Kiko Loureiro sangat akrab dengan instrumen ini. Lebih dari itu, Dave sebagai produser album Dystopia membuat lagu “Poisonous Shadows” sepertinya harus dibawakan dengan iringan orkestra suatu saat nanti. Terdengar bukan tipikal musik dari Megadeth, tapi percayalah Anda akan menyukai musik ini.

Di penghujung akhir album ini, Megadeth akhirnya kembali dengan musik instrumental mereka berjudul “Conquer or Die!” Dan lagi-lagi, intronya dibuka dengan petikan gitar akustik! Dugaan saya, ini merupakan pengaruh dari Kiko Loureiro mengingat hal ini memang sangat sering ia lakukan pada lagu-lagu band Angra. Lagu instrumental selama lebih dari 3 menit itu cukup bisa memuaskan hasrat saya untuk mendengarkan musik-musik instrumental ber-genre thrash metal. Lagipula, saya sudah sangat jenuh dengan musik instrumental ala Steve Vai, Eric Johnson, Joe Satriani, sebut saja semua yang mirip dengan mereka.

Hanya sepersekian detik setelah “Conquer or Die!”, Chris Adler jogging dengan pedalnya pada lagu “Lying in State”. Inilah lagu dengan lirik yang akhirnya berhasil mengambil hati saya.

“The perfect plan
Must have an alibi
And the perfect pawn
To spew the party line
Of the perfect falsehood
Spoke a thousand times
The perfect words
Cover the greatest crime”

Lagu kedua dari terakhir ada “The Emperor” yang bisa berestensi dengan tepat terhadap telinga saya, padahal susunan musiknya tidaklah terlalu spesial. Entah mengapa, saya sangat senang mendengarnya. Mungkin karena Dave Mustaine bernyanyi dengan cepat ala seorang rapper sementara Kiko Loureiro sibuk dengan solo gitarnya sebagai vokal latar dari Dave Mustaine. Intinya, saya suka dengan lagu ini.

Akhirnya, kita sampai pada penghujung  album. Dystopia ditutup dengan sebuah lagu cover dari band bernama Fear. Saya sendiri baru mendengarkan lagu yang berjudul “Foreign Policy” tersebut, namun liriknya cukup berani: “The lines are drawn! Establish the new order! Suspect everyone! Know your enemies! We’ve got… Foreign Policy”. Setelah membandingkan versi aslinya, saya tetap berdiri pada sisi Megadeth. Hal yang sama seperti saat saya mendengarkan Megadeth meng-cover lagu Sex Pistol, Alice Cooper, hingga Black Sabbath. Dave Mustaine sepertinya benar-benar tahu bagaimana cara meng-cover sebuah lagu menjadi ala Megadeth. Hal yang sangat berbeda ketika AXL kembali “meng-cover” lagu-lagu dari Guns N Roses formasi AFD. Ah, sudahlah, lagipula kita akan melihat GNR formasi AFD ini bereuni pada bulan April nanti.

***

Lantas, apakah album Dystopia ini layak untuk didengarkan? Saya rasa, layak saja tidak cukup karena Anda harus membeli albumnya.

Bang your head bro, and remember: Stay healthy, keep metal, & be cute…!

\m/

Kategori: Rockumentary Tag: CD Review, Megadeth

Banyak yang mengatakan tulisan saya tidak mendidik. Ya, saya memang bukanlah seorang pendidik.

Komentar

  1. ibrahim jodi :

    23/04/2016 pada 11:37 pm

    salah gan…agan tulis fatal illusion ada suara truk agan ngerasa ke ganggu terus karna adanya solo kiko di akhir jadi termaafkan???… yang solo terakhir itu 4x bukan kiko tapi Dave Mustaine… jadi kiko cuma solo sedikit di awal

    Reply
    • Snakepit :

      27/04/2016 pada 2:06 pm

      Wah iya, ini baru cek ulang.
      Mantap gan revisinya.

      Reply
  2. Syarif :

    14/02/2018 pada 12:16 pm

    Senang banget kalo ada yang nulis tentang megadeth. Saya fan berat dari megadeth. Saya sendiri sempat berhenti mengikuti megadeth sejak album cryptip writing dan risk yang menurut saya lebih condong ke alternative rock (munkin mengikuti selera pasar y ? ). Tapi ketika album dystopia rilis kangen lagi deh sama megadeth….jadi sekarang saya berburu lagi kaset dan CD megadeth karna yang terakhir saya koleksi albumnya youthnasia. Terima kasih gan

    Reply
    • Ian :

      16/02/2018 pada 3:26 am

      Wew, angkatan Marty Friedman nih keknya.
      FYI, Dystopia ini kemarin dapat Grammy.
      Jadi sisa Rock & Roll Hall of Fame aja yg belum dimiliki si Mustaine.

      Reply
  3. Ricky :

    11/12/2018 pada 4:46 pm

    Saya fans Megadeth jaman2 marty friedman (ini salah satu gitarist favorit saya)… Selepas marty hengkang dari megadeth, saya gak ada yg suka sama album2 setelahnya..
    Hingga keluar album Dystopia ini… Mantaab..

    Reply

Leave a Reply to Snakepit Cancel reply

Copyright © 2025 · Tampilan "Modern Studio Pro Theme" dengan "Genesis Framework" ·